2009/12/19
Yang terdekat, Gin! Kau telah tumbuh
dan merasai yang belum bernama. Kita tahu, bahwa keunggulan kita adalah dapat
menikmati kesunyian. Tentu saja tidak cuma itu. Ada Kopi dan Rokok dan tempat
yang kita kehendaki untuk bersendagurau bersama kesunyian. Banyak yang bilang
itu aneh. Tapi ada juga yang menganggap wajar bila kita asyik dalam kesunyian.
Menurutku, Gin, bukan kesunyian
tepatnya, tetapi keheningan. Kupikir, kesunyian itu kembaran kehampaan atau
kekosongan. Nyaris tak ada kegembiraan atau kepenatan dalam kesunyian. Kuharap
kau setuju dengan ini. Dan kita akan gunakan ‘keheningan’ sekarang, bukan kesunyian.
Masih ingat dengan puisi
Bayang-bayang, Gin? Yang pernah kau sampaikan tempo dulu. Kau sempat ceritai
aku tentang arti penting bayang-bayang bagi kita. Kucoba membayangkan bila kita tak
memiliki bayangan! Hahaha…aku membayangkan wajahmu yang keheranan ketika
menyaksikan ternyata tiada bayanganmu saat berjemur di pagi hari. Atau ketika aku berjemur
dan kau tak melihat bayanganku…hahaha…
Ketika kau suguhi aku dengan puisimu
itu, jujur saja aku terkejut. Selama ini aku mengabaikan bayanganku. Dan kau
tau aku menertawai puisi itu. Dalam benakku, aku berterimakasih. Maka ku suguhi
setengah cangkir kopi dan tiga batang kretek kesukaanmu sebagai pengantar
tidur. Kau masih ingat itu, he? Ya, pagi itu, saat kau duduk ditentang
matahari.
Ternyata, aku semakin mehormati
bayang-bayang. Semaki aku dalam menyelam, semakin kagum kepada cahaya. Rupanya,
dalam pikirku, cuma cahaya yang tak berbayang. Dan kekagumanku kepada cahaya
lebih karena ia memperuntukkan dirinya bagi apapun yang terjangkau. Sederhana
saja rupanya ia. Meskipun dirinya menjadi samar, cahaya tetap sinaran.
Gin, menyoal cahaya dan jangkauannya,
pernahkah kau bayngkan bagaimana bayangan angin? Ya, angin. Angin yang
selalu kita titipi salam untuk orang-orang tersayang. Aneh bagiku, mengapa kita
selalu mengucapkan salam dan menitipkannya kepada angin! Ah, biarlah itu, nanti saja kita
soalkan. Kita bertualang saja di dunia kenangan, sekarang. Aku pernah tanyai
kau mengapa daun bergoyang ketika angin membelainya, dan kau malah mengerutkan
dahi, Gin. Entah kau tau atau tidak. Atau kau belum faham soal pokoknya. Tapi
itu kenangan yang masih perlu jawaban, jika belum tepat jawaban yang kita
sepakati tempo hari.
Maafkan aku, Gin, mengajakmu
menapaki kembali jejak yang pernah kita buat. Aku tau, kau sibuk dengan segala
yang sempat kau saksikan, sekarang. Tapi percayalah, ini penting bagimu.
Mungkin Tuhan tersenyum, bahkan mungkin tertawa, mengetahui kita persoalkan
cahaya dan mengaguminya. Karena, kupikir, itu memang bagian anak tangga yang
perlu kita tapaki agar sampai kepadaNya. Selain cahaya, ada kenangan, ada
bayang-bayang, angin, dan kita.
Gin, bayang-bayang ku
sertakan. Barangkali kau lupa.
Masih juga setia
Kau tau, matahari, bintang, dan
bulan mulai bosan?
Ah, bayang-bayang
Aku mencintaimu
Harap tak sampai ini! Hormatku
senantiasa,
Aku, yang dekat setelah Tuhan
Agustus 2009 Parigimulya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar