12.30.2012

MEREKA MENGAJARIKU

aku tau
taruhanmu demi jiwa anakmu
jiwamu

aku tau
kerelaanmu demi raga anakmu
ragamu

dari bapak aku tau
jimwa ragamu demi suami dan anakmu
ibu

dari bapak-bapak aku tau
pun seluruh hidup kuhaturkan kepadamu
hanya debu banding cintamu

(peringati hari Ibu)

12.02.2012

LIPATAN SILAM



Serangga malam, nyanyiannya sama saja. Di rumahku, di kampusku, di kebunku, dan aku yakin di tempat itu pun sama. Malam tadi, aku menikmati nyanyian serupa hingga senja. Aku tertegun: membuka lukisan lama yang melipat tanpa kulipat.

Malam-malam sebelumnya, nyanyian serangga tidak sungguh kucermati keragamannya. Aku tak peduli kemerduannya. Bahkan, untuk kemilau bintang dan rembulan pun aku tak peduli. Sebab suasana itu adalah kau.

Ini tentang ribuan aksara yang merupa gunung dan pantai, semilir angin, hujan dan teduh dan terik, atau sekedar secangkir teh yang padanya beribu kata tertuang. Kini, kuretas ulang jalan ingatan, ikuti telapak angan, menuju rumah sang moyang.

Adakah sisa senyumu untukku?

Tentu saja, pada asap kretek yang kini tengah kunikmati seperti di silam itu, kutitipkan salam sebelum ia jauh dari mulutku, sebelum putihnya hilang di dekap malam: senyum pertamaku pagi ini untukmu.

Setelah lama asap kretek dan nyanyian serangga itu berlalu, begini saja caraku menyapamu, kini. Entah, gelapnya malam ini berhasil merayu, kemudian mengurungku dalam lukisanmu yang tak pernah kulukiskan.

11.11.2012

KEPADA SIAPA LAGI



sudah kepada pemahat
tetapi ukiran tak juga rapih


sudah kepada penyulam
tetapi anyaman tak juga merupa


sudah kepada pelukis
tetapi warna tak juga serasi


kepada siapa lagi? tak ada!
Engkau saja yang kutanya


3 November 2012

KEMARAU



daun-daun berguguran
bunga layu pun tanpa kumbang
rumput belukar rebah kepada tanah
dahaga


langit-langit batin berpeluh
mengayuh hidup pada masa gersang
garang terik nyaris membakar kesadaran
remang


buram tatapan rasa
menguap bumbung melarut
menyatu hilang dalam peraduan
malam


sejenak saja, Kekasih
ingin kami nikmati letih
dalam lelap tanpa harap
hujan 


3 November 2012

KASIHANILAH AKU SAYANG



sayang, o maha sayang
tak patut aku mendapat ampun
dosa-dosa tak dapat kuhimpun
tetapi, kasih, o maha sayang
tetap saja aku memohon kasihmu
meski berulang jatuh keliru
maka, sayang, o maha penyayang
biar harapku tetap berharap
biar tanpa engkau dekap


kasih, o maha kasih
tak pantas aku terima berkah
sebab dosa-dosaku melipah
tetapi, sayang, o maha kasih
tetap juga aku memohon sayangmu
meski berulang salah melaku
maka, kasih, o maha pengasih
biar harapku kecewa
darimu aku terima


kau, relakanlah aku kepadamu
senantiasa kepada engkaumu
kau saja segala mahamu
hambakanlah aku


15 Oktober 2012

KEKASIH PUJAAN

dalam hening malam
desir angin kudengarkan
embun bertebaran
bawakan cerita
kekasih pujaan


dipadang yang gersang
tumbuh harapan baru
pijar keteduhan
lama dinantikan
kini sudah datang

o kekasih pujaan
sinaran yang tentram
terangi jiwa-jiwa
dalam kekelapan

o kekasih pujaan
damai kau tebarkan
rengkuh cinta sayang
bagi semua insan


kusulam kata-kata
ungkap kerinduan
sholawat dan salam
utusan yang dimuliakan
kekasih pujaan


27 September 2012

SIALAN



Amis suara pada mimbar
Tulikan hidung para pendengar
''...bekukan...bakar....''

Berduyun tuju kedamaian
Genggam amarah kebencian
Ke-iri-dengki-an

Koar itu pertarungan
Tarik penghasilan
Raup keuntungan

Sialan picik kemaruk : waduk!





* waduk = kotoran, tai 


29 September 2012

NYANYIAN MUSIN KEMARAU



Tak kah kau dengar
Gelisah bambu
Yang beradu
Memburu embun
Sisa-sisa

Tak kah kau lihat
Rerumputan
Yang terkapar
Lesu terkulai
Binasa

Kudengar
Gemuruh jantung
Rasa bersabung
Menatap tanah
Retak merekah

Tak kah kau simak
Jerit petani
Mengais rejeki
Di kebun tandus
Di sawah gersang
Lapar

Gerimis
Enggan menyapa
Betapa dendam
Rindu kuredam
Kepada hujan

(semoga kemarau tak kuasa lenyapkan teriak parau harapan yang tinggal secuil.)

13 Oktober 2012
 
 

HaHeHo



tali kolor ikatnya molor
ha, kedodoran
he, lupakan
ho, kan?
molor nyenyak digedor-gedor

digedor-gedor diteror pelor
ha, kok bisa
he, ya bisa
ho, bisa?
pelor : dordordor dordor dor



 29 September

 

9.28.2012

(FA IDO MA MA IDO FA)


Ladrang dan Wirangrong jadikan Lambang bersama, sebab hidup tak sekedar Gurisa.

Jurudemung tak belenggu ragam nyanyian, pun Maskumambang di-Mijil-kan.

Gambuh dan Durma itu Pucung-kan saja hingga Magatru merupa Sinom


rasakanlah dengan tulus Pangkur itu. Balakbak dan Dandanggula belum membeku

Kinanti, Asmarandana tak berwarna satu. tak hanya itu.



9.25.2012

PANTAI JELITA

Aiiiiiiih...Kakanda, lihatlah itu!

(Pantai yang hening, hati siapa saja akan menatapnya. Semilirnya damai, menggebupun dengan lembut, wajar bila orang-orang menamainya jelita, Pantai Jelita.)

Iya, Pantai Jelita, Adinda. Di sini hening hati kau dapati. Tetapi entahlah, adinda...

(Orang-orang senang berlama-lama menikmati suasana pantai itu. Atau sebentar-sebentar tetapi sering. Seperti pelabuhan dengan rias taman, padahal sekedar pantai. Para pelayar akan memburu rehat di Pantai Jelita. Nyaman untuk buang penat, ujar mereka.)

Kakanda, lihatlah...lihat...ada apakah gerangan...manakah yang menumpuk tanah merah di laut tepian...lihatlah...pasirnya nyaris tak tampak...

Sudahlah, aku juga melihat tunggul-tunggul kamboja memagari gunungan tanah merah itu. Lihatlah...sedang memucuk...akan tumbuh lagi.

Kanda, kalau dibiarakan, kelak kembangnya akan berwarna putih bergaris kuning, dan sebagian lainya putih bergaris merah. Kau tau itu...itu....

(Semakin lama, semakin membesar saja gunungan itu. Tanah merah berpagar tunggul kamboja itu halangi pandang kepada lautan permai. Sepasang tua itu lekat memandang dengan heran, aneh, penasaran: tanah merah dan kamboja di pantai, siapa apakah  bagaimana gerangan.)

Dinda, dengarkah itu? Suara itu...mantra...dengarkah, kau? Mana gerangan asal suaranya, Adinda?

(semacam gumam, lirih itu mantra munajat...

o, engkau, maha-tuan para tuan
hantarlah gelombang lautan
suci, menarik tanah merah
berpagar tunggul kamboja
ke dasar lautan, hingga
pantai kembali jelita 
menjatidiri, merupa
sewajarnya.

Samar-samar suara itu, kalimatnya berulang-ulang, ulangan yang sama.)

Entahlah. Aku dengar dari seluruh arah, sama saja, Kakanda. Larik itu rupa munajat...lagunya aku kenal, Kanda...bagaimana? Itu lagu....

Kita tak bisa apa-apa, kita bukan siapa-siapa.... Dinda, kita ikuti suara itu biar bersama-sama memantra: o, engkau, maha-tuan para tuan, hantarlah gelombang lautan suci, menarik tanah merah dan tunggul-tunggul kamboja ke dasar lautan, hingga pantai kembali jelita, menjatidiri, merupa sewajarnya.

Apa itu...lihatlah, Kanda...lihat itu...lihatlah, Ka....

Biarkan...kita memantra saja…kita tak bisa apa-apa.

Tapi, Kanda....

(Seorang tengah melempar gunungan tanah merah yang dipagari tunggul kaboja itu ke lautan. Tetapi hanya dengan kedua tangan yang kerempeng. Dari kejauhan tampak terengah-engah memunculkan ke-tak-putus-asa-an.)

Sudahlah...kita seperti orang itu, tak punya apa-apa, tak bisa apa-apa…kita memantra saja.


GERIMIS HUJAN EMBUN



gerimis, luapkanlah
hujan, alirkanlah


gerimis, bersihkanlah
hujan, sucikanlah


gerimis, romankanlah
hujan, rohimkanlah


gerimis, resapkanlah
hujan, surupkanlah


embun, aminkanlah


29 Oteober 2012

9.08.2012

SANG PURNA



bukan bintang wakil sayang mu
bukan mentari wakil kasih mu
bukan fajar bukan senja
wakil mu pelaku sabda
sang purna

8 September 2012

HENING BENING



kulum senyum engkau, kekasih
danau peluh rimbun rerumputan

desah nafas engkau, kekasih
muara keringat lebat pepohonan

bisik lirih engkau, kekasih
semilir angin ombak deburan

dekap rela engkau, kekasih
siang malam padu memadukan

aku kangen engkau, kekasih
bening hening maha kesempurnaan
 
7 September 2012