12.02.2012

LIPATAN SILAM



Serangga malam, nyanyiannya sama saja. Di rumahku, di kampusku, di kebunku, dan aku yakin di tempat itu pun sama. Malam tadi, aku menikmati nyanyian serupa hingga senja. Aku tertegun: membuka lukisan lama yang melipat tanpa kulipat.

Malam-malam sebelumnya, nyanyian serangga tidak sungguh kucermati keragamannya. Aku tak peduli kemerduannya. Bahkan, untuk kemilau bintang dan rembulan pun aku tak peduli. Sebab suasana itu adalah kau.

Ini tentang ribuan aksara yang merupa gunung dan pantai, semilir angin, hujan dan teduh dan terik, atau sekedar secangkir teh yang padanya beribu kata tertuang. Kini, kuretas ulang jalan ingatan, ikuti telapak angan, menuju rumah sang moyang.

Adakah sisa senyumu untukku?

Tentu saja, pada asap kretek yang kini tengah kunikmati seperti di silam itu, kutitipkan salam sebelum ia jauh dari mulutku, sebelum putihnya hilang di dekap malam: senyum pertamaku pagi ini untukmu.

Setelah lama asap kretek dan nyanyian serangga itu berlalu, begini saja caraku menyapamu, kini. Entah, gelapnya malam ini berhasil merayu, kemudian mengurungku dalam lukisanmu yang tak pernah kulukiskan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar