10.23.2013

Perhatian!

Perihal pagi saja. Aku mengira angin semilir, lembutnya mengusap
pepohonan, rerumputan, burung-burung, dan mereka yang bergegas mencari
nafkah. Sesekali angin agak nakal, mendahuli matahari, ia jatuhkan
butir-butir bening diujung dedaunan. Itu hanya bagian dari sangat
sedikit peristiwa yang darinya akan kita dapati ragam pengetahuan.
Tapi aku akan meneruskan tulisan ini, online, dan mengabaikan hidangan
yang pagi suguhkan.

Betapa pagi selalu hadirkan kemeriahan dan keindahan, nyaris serupa
senja. Bedanya, bagi orang kebanyakkan, pagi selalu menarik untuk
cecerkan semangat; dan senja mengajak untuk kembali mengumpukannya.
Akan disesalkan: pagi sebagai kesempatan menikmati masa antara gelap
dan terang tidak sempat dinikmati oleh lebih banyak lagi orang. Dan
aku diantara orang-orang itu.

Ya, pagi ini saja, misalnya. Aku menikmati secangkir kopi, beberapa
batang kretek, dan tentunya apa-apa yang disajikan "laptop"ku. Aku pun
kehilangan kesempatan menikmati pagi yang sesungguhnya memuat segala
yang disajikan semesta agar segala dari diri segar kembali. Inilah
materi, memiliki candu yang sangat hebat: aku memilih online daripada
memperhatikan apa-apa yang pagi suguhkan disekitaran.

***

mulanya dasar kebutuhan
kemudian di-ada-kan saja
kemudian di-ada-ada-kan
kemudian memaksa ada-nya *

Kukira, setelah nyaris terlupakan, puisi itu tak akan lagi muncul
sebagai mewakili keadaan kini. Ternyata tidak. Ia masih sesuai bagiku
hingga kini: aku masih merasa lebih duduk bercumbun dengan laptopku
dan musik raggae daripada menikmati suasana pagi di taman depan kamar.
Heu…entah seberapa keblingernya aku ini.


*
Puisi : Jerat Materi, 20 Agustus 2008

Usah Risau

Usah beranggapan bahwa "dunia" ini luas, apalagi teramat luas, sebab
ia "tak selebar telapak tangan". Ini bukan guyonan. Bukan tak mungkin
tiba-tiba aku dihadapanmu tanpa rencana akan bertemu; atau sesaat
selepas kita tentukan sama-sama masa untuk bersua, tiba-tiba maut
menjemputku.

Betapa kecewa ketika semua kata yang kita susun untuk mengisi
pertemuan kita, tetapi ketika bertemu, sebelum saling menyapa, kita
sudah tak lagi di dunia atau dunia ini sudah tak ada lagi.

Semua sesuai ukuran, seperti yang sudah, nanti pun tak jauh beda. Ini
kenyataan. Nyatanya, harapan seringkali berujung kekecewaan; dan
hebatnya, kekecewaan malah membuka jalan menuju harapan baru. Sialnya
ketika harap dan kecewa berulang-ulang dalam suasana yang nyaris
serupa.

Setitik Hitam di Kanvas Putih

Ketika aku lagi berkutat perihal pola politik kampus yang dirancang
sebagai miniatur negara—ini hal baru bagiku, mungkin juga bagi senior
dan teman-teman—aku sempatkan menelpon adik angkatku. Ia merengek
manja minta maaf dan memberi saran. Ah dia, dasar manja, berani
memberi saran begitu sambil tertawa-tawa. Kalau dekat, aku jitak dia!
Heuheu.

Dia minta maaf karena minggu depan akan menikah. Artinya mendahuluiku
alias ngarunghal. Dan saran dia, "cepatlah menyusul…." Heuheu…berani
dia beri saran macam begitu. Ini ceritaku dulu, masa semester empat,
kalau tak salah ingat. Aku senang mendengar kabar itu. Mengenai
sarannya, aku tertawa-tawa saja. Saran itu datang tidak pada waktu
yang tepat. Setahun lewat, kuterima kabar dia sudah punya anak.
Artinya…heuheu…aku menjadi Uwa.

Aku tertawa hanya karena suara adik angkatku yang kudengar via
handphone. Padahal, di kampus sedang mumet-mumetnya melakukan
penyesuaian, kesialan menjadi Ketua Hima-IKS tepat dimasa transisi,
masa uji coba.

Di masa itu juga, aku berteman baik dengan perempuan lincah. Dia Ketua
Pers Mahasiswa tingkat Fakultas. Aku menulis sebait puisi, aku
titipkan kepada temanku untuk disampaikan kepadanya. Aku kira dia
mengerti, karena sebelumnya sudah dibicarakan bahwa aku akan menulis
puisi untuk dimuat di majalah yang ia pimpin. Entah masalahnya dimana
samapi-sampai puisiku dianggap untuk dia, bukan untuk dipajang
dimajalah. Pekan berikutnya aku klarifikasi. Sialnya, aku lupa
puisiku, aku hanya menulis di sobekan bungkus rokok (ini kebiasaan
buruk) yang sudah dia buang. Heuheu.

Kejadian serupa demikian sebenarnya bukan yang pertama. Seringkali
kita mengalami hal yang mengejutkan ketika kita mengingat-ingat masa
silam secara seksama. Ketika kita dalam kepelikkan masalah,
diantaranya selalu ada hal yang memicu bangkitnya rasa senang hati.
Meskipun hanya sestitik hitam di gelaran kanvas putih, tetap saja
setitik itu menarik perhatian. Seperti oase, ia adalah setitik
kesejukan dalam hamparan kegersangan; setitik pelita dalam gelap malam
tanpa bulan dan bebintang, dan tanpa lampu-lampu.

Dari itu mulailah aku sok cermat mengamati apa yang kualami secara sok
seksama, mencoba mengamati setiap kejadian secara setimbang:rasa pahit
dan manis mesti sama-sama diperhatikan, seperti menikmati secangkir
kopi hitam. Tapi, untuk hingga saat ini, aku lebih banyak terlena dari
pada mendapatkan maknanya. Itu masih terbilang bagus jika dibanding
dengan tidak sekali pun melakukan.

Kematian

Sedih, duka, sunyi, merasa pudar arti diri adalah beberapa diantara
isi dari kehilangan. Kematian hanya satu di antara banyak hal yang
menjadi sebab hadirnya perasaan kehilangan. Keseluruhannya adalah
wajar.

Bukankah "tiada ada yang abadi" kecuali ke-Abadi-an-Nya?. Dan kematian
pun tak abadi, sebagaimana lahirnya perasaan yang diakibatkanya.

Ia hanya tirai antara kehidupan kini dengan kehidupan nanti. Jika
kehidupan kini adalah sekejap, maka kematian tak akan lebih lama dari
itu. Sekejap saja, dibangkitan kembali di kehidupan yang segalanya
berbeda.

Bukankah semua itu wajar, sesuai ketentuaNya? yang tak wajar adalah
menolak apa pun yang sudah terjadi. Akan percuma semuanya.

Sejak penciptaan dimulakan, yang tidak pernah berubah adalah Ubah,
dengan kemapuannya merubah hingga segalanya berubah dalam perubahan
yang berubah-ubah. Tak ada yang pasti kecuali ke-Pasti-an-Nya yang Nya
pastikan.

ke-bersatu-an, ke-terpisah-an, kelahiran dan kemtian hanya bagian dari
keseluruhan yang disebut hidup, hidupnya kehidupan.

10.14.2013

Setitikku

aku faham, sayang
pelangi akan pudar
dan aku terlenyapkan

aku faham, kekasih
musim pun berganti
dan aku terlupakan

aku faham...

10.08.2013

Hasrat Cinta



kuping cinta selalu berhasrat mendengar kemerduannya
mata cinta selalu berhasrat memandang keindahannya
hidung cinta selalu berhasrat mencium keharumannya
lidah cinta selalu berhasrat mencecap kenikmatannya
kulit cinta selalu berhasrat merasa kelembutannya

10.06.2013

Jika Suatu Nanti

Jengahlah kau jika jengah mengasihi
Bosanlah kau jika bosan menyayangi
Lelahlah kau jika lelalah mencitai
Tapi jangan lah engkau tak kembali
Mengasihi menyayangi dan mencintai
Aku dan kerinduan di sini menanti-nanti
Kau kembali untuk indahnya saling berbagi

Jika nanti kita mengeluh
Mahligai kita jangan lah luluh
Bara asmara yang kita teguh
Akan selalu aku menyuluh

Agar tak padam
Biar tak kelam

Kotak Harapan

Secara metafora rupa harapan itu ibarat kotak yang dibungkus secara
apik dan dikemas menarik. Mengapa? Karena harapan selualu selalu
tentang pembayang-bayangan, pengandai-andaian. Ia tentang masa hadapan
yang siapa pun belum pernah menjahnya, kecuali membayangkannya,
mengandaikannya.

Tidak pernah kualami atau kudengar atau kubaca ada orang yang memiliki
harapan buruk: hidup dalam kesulitan ekonomi, sekarat di kolong
jembatan, mati, kemudian jasadnya dijadikan pakan buaya, dan ruhnya
langgeng di dalam neraka. Ceritakan kepadaku seandainya sungguh ada
yang demikian.

Siapa pun akan mengharapkan: memiliki kekasih atau istri/suami yang
setia dalam berbagai keadaan, memiliki ekonomi dan kesehatan yang
baik, lingkungan masyarakat yang bersahabat, sekarat ketika dalam
kenyamanan, mati, dan tentu menikmati syurga yang dijanjikan Tuhan di
alam baka.

Kotak harapan, selalu dibayangkan berisi kebahagiaan. Maka seperti
kewajiban untuk meraihnya. Segala daya dicurahkan untuk tetap berjalan
menuju peraihannya. Ibarat berjudi bagi penjudi, harapan selalu
dipeliharanya. Jika kalah, ia akan teringat: patah tumbuh; hilang
berganti.

Masalahnya, ketika yang patah tak mau tubuh, ada rasa enggan untuk
berganti. "Keledai yang jatuh di lubang yang sama dengan cara yang
serupa" adalah wajar karena ia seekor keledai. Tetapi istilah "bodoh"
atau "tolol" atau "dungu" terlalu bagus untuk manusia jika ia
melakukannya.

Mungkin saja isi kotak itu kebahagiaan, dan mungkin juga bukan
kebahagiaan. Mungkin isinya ular penyerang, berbisa mematikan; mungkin
sekuntum bungan yang selamanya tak akan berbuah; atau mungkin juga
sebutir bibit yang ketika ditanam dan tumbuh, ia tak akan pernah
berbunga.

Mestikkah menghabiskan bayak daya untuk tetap memikirkan kotak yang
kejelasannya tak jelas, kepastiannya tak pasti, dan tidak ada jaminan
perihal isinya. Jika berjalan menuju suatu tempat, dan kotak harapan
itu akan ditemui dalam perjalan, tidakkah tidak perlu memikirkan kotak
itu?

Lagi pula, tidak ada jaminan apa pun bahwa ketika kotak itu tepat
berada dalam jarak seraihan tangan, mungkin saja hasrat tak lagi
tertarik meraihnya. Sebab, ada kemungkinan ketika nyaris sampai di
satu titik, kita malah mengharapkan titik yang lainya lagi.