10.23.2013

Setitik Hitam di Kanvas Putih

Ketika aku lagi berkutat perihal pola politik kampus yang dirancang
sebagai miniatur negara—ini hal baru bagiku, mungkin juga bagi senior
dan teman-teman—aku sempatkan menelpon adik angkatku. Ia merengek
manja minta maaf dan memberi saran. Ah dia, dasar manja, berani
memberi saran begitu sambil tertawa-tawa. Kalau dekat, aku jitak dia!
Heuheu.

Dia minta maaf karena minggu depan akan menikah. Artinya mendahuluiku
alias ngarunghal. Dan saran dia, "cepatlah menyusul…." Heuheu…berani
dia beri saran macam begitu. Ini ceritaku dulu, masa semester empat,
kalau tak salah ingat. Aku senang mendengar kabar itu. Mengenai
sarannya, aku tertawa-tawa saja. Saran itu datang tidak pada waktu
yang tepat. Setahun lewat, kuterima kabar dia sudah punya anak.
Artinya…heuheu…aku menjadi Uwa.

Aku tertawa hanya karena suara adik angkatku yang kudengar via
handphone. Padahal, di kampus sedang mumet-mumetnya melakukan
penyesuaian, kesialan menjadi Ketua Hima-IKS tepat dimasa transisi,
masa uji coba.

Di masa itu juga, aku berteman baik dengan perempuan lincah. Dia Ketua
Pers Mahasiswa tingkat Fakultas. Aku menulis sebait puisi, aku
titipkan kepada temanku untuk disampaikan kepadanya. Aku kira dia
mengerti, karena sebelumnya sudah dibicarakan bahwa aku akan menulis
puisi untuk dimuat di majalah yang ia pimpin. Entah masalahnya dimana
samapi-sampai puisiku dianggap untuk dia, bukan untuk dipajang
dimajalah. Pekan berikutnya aku klarifikasi. Sialnya, aku lupa
puisiku, aku hanya menulis di sobekan bungkus rokok (ini kebiasaan
buruk) yang sudah dia buang. Heuheu.

Kejadian serupa demikian sebenarnya bukan yang pertama. Seringkali
kita mengalami hal yang mengejutkan ketika kita mengingat-ingat masa
silam secara seksama. Ketika kita dalam kepelikkan masalah,
diantaranya selalu ada hal yang memicu bangkitnya rasa senang hati.
Meskipun hanya sestitik hitam di gelaran kanvas putih, tetap saja
setitik itu menarik perhatian. Seperti oase, ia adalah setitik
kesejukan dalam hamparan kegersangan; setitik pelita dalam gelap malam
tanpa bulan dan bebintang, dan tanpa lampu-lampu.

Dari itu mulailah aku sok cermat mengamati apa yang kualami secara sok
seksama, mencoba mengamati setiap kejadian secara setimbang:rasa pahit
dan manis mesti sama-sama diperhatikan, seperti menikmati secangkir
kopi hitam. Tapi, untuk hingga saat ini, aku lebih banyak terlena dari
pada mendapatkan maknanya. Itu masih terbilang bagus jika dibanding
dengan tidak sekali pun melakukan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar