9.28.2012

(FA IDO MA MA IDO FA)


Ladrang dan Wirangrong jadikan Lambang bersama, sebab hidup tak sekedar Gurisa.

Jurudemung tak belenggu ragam nyanyian, pun Maskumambang di-Mijil-kan.

Gambuh dan Durma itu Pucung-kan saja hingga Magatru merupa Sinom


rasakanlah dengan tulus Pangkur itu. Balakbak dan Dandanggula belum membeku

Kinanti, Asmarandana tak berwarna satu. tak hanya itu.



9.25.2012

PANTAI JELITA

Aiiiiiiih...Kakanda, lihatlah itu!

(Pantai yang hening, hati siapa saja akan menatapnya. Semilirnya damai, menggebupun dengan lembut, wajar bila orang-orang menamainya jelita, Pantai Jelita.)

Iya, Pantai Jelita, Adinda. Di sini hening hati kau dapati. Tetapi entahlah, adinda...

(Orang-orang senang berlama-lama menikmati suasana pantai itu. Atau sebentar-sebentar tetapi sering. Seperti pelabuhan dengan rias taman, padahal sekedar pantai. Para pelayar akan memburu rehat di Pantai Jelita. Nyaman untuk buang penat, ujar mereka.)

Kakanda, lihatlah...lihat...ada apakah gerangan...manakah yang menumpuk tanah merah di laut tepian...lihatlah...pasirnya nyaris tak tampak...

Sudahlah, aku juga melihat tunggul-tunggul kamboja memagari gunungan tanah merah itu. Lihatlah...sedang memucuk...akan tumbuh lagi.

Kanda, kalau dibiarakan, kelak kembangnya akan berwarna putih bergaris kuning, dan sebagian lainya putih bergaris merah. Kau tau itu...itu....

(Semakin lama, semakin membesar saja gunungan itu. Tanah merah berpagar tunggul kamboja itu halangi pandang kepada lautan permai. Sepasang tua itu lekat memandang dengan heran, aneh, penasaran: tanah merah dan kamboja di pantai, siapa apakah  bagaimana gerangan.)

Dinda, dengarkah itu? Suara itu...mantra...dengarkah, kau? Mana gerangan asal suaranya, Adinda?

(semacam gumam, lirih itu mantra munajat...

o, engkau, maha-tuan para tuan
hantarlah gelombang lautan
suci, menarik tanah merah
berpagar tunggul kamboja
ke dasar lautan, hingga
pantai kembali jelita 
menjatidiri, merupa
sewajarnya.

Samar-samar suara itu, kalimatnya berulang-ulang, ulangan yang sama.)

Entahlah. Aku dengar dari seluruh arah, sama saja, Kakanda. Larik itu rupa munajat...lagunya aku kenal, Kanda...bagaimana? Itu lagu....

Kita tak bisa apa-apa, kita bukan siapa-siapa.... Dinda, kita ikuti suara itu biar bersama-sama memantra: o, engkau, maha-tuan para tuan, hantarlah gelombang lautan suci, menarik tanah merah dan tunggul-tunggul kamboja ke dasar lautan, hingga pantai kembali jelita, menjatidiri, merupa sewajarnya.

Apa itu...lihatlah, Kanda...lihat itu...lihatlah, Ka....

Biarkan...kita memantra saja…kita tak bisa apa-apa.

Tapi, Kanda....

(Seorang tengah melempar gunungan tanah merah yang dipagari tunggul kaboja itu ke lautan. Tetapi hanya dengan kedua tangan yang kerempeng. Dari kejauhan tampak terengah-engah memunculkan ke-tak-putus-asa-an.)

Sudahlah...kita seperti orang itu, tak punya apa-apa, tak bisa apa-apa…kita memantra saja.


GERIMIS HUJAN EMBUN



gerimis, luapkanlah
hujan, alirkanlah


gerimis, bersihkanlah
hujan, sucikanlah


gerimis, romankanlah
hujan, rohimkanlah


gerimis, resapkanlah
hujan, surupkanlah


embun, aminkanlah


29 Oteober 2012

9.08.2012

SANG PURNA



bukan bintang wakil sayang mu
bukan mentari wakil kasih mu
bukan fajar bukan senja
wakil mu pelaku sabda
sang purna

8 September 2012

HENING BENING



kulum senyum engkau, kekasih
danau peluh rimbun rerumputan

desah nafas engkau, kekasih
muara keringat lebat pepohonan

bisik lirih engkau, kekasih
semilir angin ombak deburan

dekap rela engkau, kekasih
siang malam padu memadukan

aku kangen engkau, kekasih
bening hening maha kesempurnaan
 
7 September 2012

9.06.2012

KERING


tanah merekah
merah hitam sama
menguap getah
patah tumbang jua

petaka disabda karma
celaka disebab kata

3 September 2012

KARAM


diam-diam
mendalam
merendam

4 September 2012

SELUANG PANJANG



Sekejap saja.
Cahaya sudah tampakkan
ragam warna dan rupa
jauh sebelum kesadaran kita
menyadarinya.

Sekejap saja.
Terlentang, kengkurap, duduk,
jongkok, kemudian berdiri,
dan tiba-tiba berlari.
Perjalanan akan lebih panjang,
menjulang, sejuk, gersang
tenang dan tak tenang
bergantian.

Sekejap saja.
Waktu menjadi hakim yang tak peduli.
Jika harus berlalu, maka berlalulah
semua. ''ubah!'', sabdanya.
Maka tanah membasah, pucuk menyubur
dan bunga berkembang,
mengalun burung dan serangga,
angin, hujan, kering kerontang
punah musnah pisah pilah

Sekejap saja.
Tercantas oleh loncatan kesadaran,
tiba-tiba, tanpa kabar terbaca,
semerbak kamboja melambai-lambai
memanggil menggapai sukma.
Tanah merah ulurkan tangan,
''kemarilah, nak, akan kucumbu
kau hingga hilang tak berbayang!''
Maka lenyap untuk menyambut masa
seluang yang panjang.

5 September 2012

ARAS JARI



jemari tak lentik, kaku, bisu,
wakil lidahku
sulamkan aksara merupa
kata-kata
deret kalimat bait acak
adalah tapak
sampah pikiran
runtah rasaan
limbah nalaran
sembarangan
tercecer jejak
berserak

masih dengan jemari yang sama
ingatan meloncat-loncat. memaksa
minta diperhatikan kesadaran
yang terduduk selonjoran
pelan-pelan, perlahan
mewarna kenangan
ah, rupanya lama terlena
terlalu cepat kejarannya
memburu
bisu

baiklah
sejenak nikmati jeda
membuka lembar tanpa batas
telaah
banyak makna
terabaikan nyaris lepas
inilah
dengan jemari yang tak beda
meretas rimbun belukar dalam nafas
akulah
dari aku kepada aku-Nya
mencium bumi menuju aras, dalam dan luas

7 September 2012