Aiiiiiiih...Kakanda,
lihatlah itu!
(Pantai yang hening, hati siapa saja akan
menatapnya. Semilirnya damai, menggebupun dengan lembut, wajar bila orang-orang
menamainya jelita, Pantai Jelita.)
Iya,
Pantai Jelita, Adinda. Di sini hening hati kau dapati. Tetapi entahlah,
adinda...
(Orang-orang senang berlama-lama menikmati
suasana pantai itu. Atau sebentar-sebentar tetapi sering. Seperti pelabuhan
dengan rias taman, padahal sekedar pantai. Para pelayar akan memburu rehat di
Pantai Jelita. Nyaman untuk buang penat, ujar mereka.)
Kakanda,
lihatlah...lihat...ada apakah gerangan...manakah yang menumpuk tanah merah di
laut tepian...lihatlah...pasirnya nyaris tak tampak...
Sudahlah,
aku juga melihat tunggul-tunggul kamboja memagari gunungan tanah merah itu.
Lihatlah...sedang memucuk...akan tumbuh lagi.
Kanda,
kalau dibiarakan, kelak kembangnya akan berwarna putih bergaris kuning, dan
sebagian lainya putih bergaris merah. Kau tau itu...itu....
(Semakin lama, semakin membesar saja
gunungan itu. Tanah merah berpagar tunggul kamboja itu halangi pandang kepada
lautan permai. Sepasang tua itu lekat memandang dengan heran, aneh, penasaran:
tanah merah dan kamboja di pantai, siapa apakah bagaimana gerangan.)
Dinda,
dengarkah itu? Suara itu...mantra...dengarkah, kau? Mana gerangan asal
suaranya, Adinda?
(semacam gumam, lirih itu mantra munajat...
o, engkau, maha-tuan para tuanhantarlah gelombang lautansuci, menarik tanah merahberpagar tunggul kambojake dasar lautan, hinggapantai kembali jelitamenjatidiri, merupasewajarnya.
Samar-samar suara itu, kalimatnya
berulang-ulang, ulangan yang sama.)
Entahlah.
Aku dengar dari seluruh arah, sama saja, Kakanda. Larik itu rupa
munajat...lagunya aku kenal, Kanda...bagaimana? Itu lagu....
Kita
tak bisa apa-apa, kita bukan siapa-siapa.... Dinda, kita ikuti suara itu biar
bersama-sama memantra: o, engkau, maha-tuan para tuan, hantarlah
gelombang lautan suci, menarik tanah merah dan tunggul-tunggul kamboja ke dasar
lautan, hingga pantai kembali jelita, menjatidiri, merupa sewajarnya.
Apa
itu...lihatlah, Kanda...lihat itu...lihatlah, Ka....
Biarkan...kita
memantra saja…kita tak bisa apa-apa.
Tapi,
Kanda....
(Seorang tengah melempar gunungan tanah merah yang dipagari tunggul kaboja itu ke
lautan. Tetapi hanya dengan kedua tangan yang kerempeng. Dari kejauhan tampak
terengah-engah memunculkan ke-tak-putus-asa-an.)
Sudahlah...kita
seperti orang itu, tak punya apa-apa, tak bisa apa-apa…kita memantra saja.
weedededeee ada panggilan sayang juga kanda dan dinda mirip lagu katon bagaskara deh :lol:
BalasHapuskenapa itu selalu nulis cinta2an selalu ada kuburan, tanda cinta mati kah?? hahaha :D
ini bisa jadi tentang batas kebebasan dan usaha memahami bata-batas itu.
BalasHapushanya saja dirupa dengan perasaan cinta dsb.
enggak mudeeeng hahaha LoL
BalasHapuspayah
BalasHapushahaha... sy payah yak? hm... begitulah adanya mang mau gimana lagi wahahahaha, ceritamu juga bahasanya ketinggian
BalasHapuspengaruh yg lg dedemenan kali ya, cinta mati (posesif) apa cinta sampai mati wihihihi LOL