9.25.2012

PANTAI JELITA

Aiiiiiiih...Kakanda, lihatlah itu!

(Pantai yang hening, hati siapa saja akan menatapnya. Semilirnya damai, menggebupun dengan lembut, wajar bila orang-orang menamainya jelita, Pantai Jelita.)

Iya, Pantai Jelita, Adinda. Di sini hening hati kau dapati. Tetapi entahlah, adinda...

(Orang-orang senang berlama-lama menikmati suasana pantai itu. Atau sebentar-sebentar tetapi sering. Seperti pelabuhan dengan rias taman, padahal sekedar pantai. Para pelayar akan memburu rehat di Pantai Jelita. Nyaman untuk buang penat, ujar mereka.)

Kakanda, lihatlah...lihat...ada apakah gerangan...manakah yang menumpuk tanah merah di laut tepian...lihatlah...pasirnya nyaris tak tampak...

Sudahlah, aku juga melihat tunggul-tunggul kamboja memagari gunungan tanah merah itu. Lihatlah...sedang memucuk...akan tumbuh lagi.

Kanda, kalau dibiarakan, kelak kembangnya akan berwarna putih bergaris kuning, dan sebagian lainya putih bergaris merah. Kau tau itu...itu....

(Semakin lama, semakin membesar saja gunungan itu. Tanah merah berpagar tunggul kamboja itu halangi pandang kepada lautan permai. Sepasang tua itu lekat memandang dengan heran, aneh, penasaran: tanah merah dan kamboja di pantai, siapa apakah  bagaimana gerangan.)

Dinda, dengarkah itu? Suara itu...mantra...dengarkah, kau? Mana gerangan asal suaranya, Adinda?

(semacam gumam, lirih itu mantra munajat...

o, engkau, maha-tuan para tuan
hantarlah gelombang lautan
suci, menarik tanah merah
berpagar tunggul kamboja
ke dasar lautan, hingga
pantai kembali jelita 
menjatidiri, merupa
sewajarnya.

Samar-samar suara itu, kalimatnya berulang-ulang, ulangan yang sama.)

Entahlah. Aku dengar dari seluruh arah, sama saja, Kakanda. Larik itu rupa munajat...lagunya aku kenal, Kanda...bagaimana? Itu lagu....

Kita tak bisa apa-apa, kita bukan siapa-siapa.... Dinda, kita ikuti suara itu biar bersama-sama memantra: o, engkau, maha-tuan para tuan, hantarlah gelombang lautan suci, menarik tanah merah dan tunggul-tunggul kamboja ke dasar lautan, hingga pantai kembali jelita, menjatidiri, merupa sewajarnya.

Apa itu...lihatlah, Kanda...lihat itu...lihatlah, Ka....

Biarkan...kita memantra saja…kita tak bisa apa-apa.

Tapi, Kanda....

(Seorang tengah melempar gunungan tanah merah yang dipagari tunggul kaboja itu ke lautan. Tetapi hanya dengan kedua tangan yang kerempeng. Dari kejauhan tampak terengah-engah memunculkan ke-tak-putus-asa-an.)

Sudahlah...kita seperti orang itu, tak punya apa-apa, tak bisa apa-apa…kita memantra saja.


5 komentar:

  1. weedededeee ada panggilan sayang juga kanda dan dinda mirip lagu katon bagaskara deh :lol:

    kenapa itu selalu nulis cinta2an selalu ada kuburan, tanda cinta mati kah?? hahaha :D

    BalasHapus
  2. ini bisa jadi tentang batas kebebasan dan usaha memahami bata-batas itu.
    hanya saja dirupa dengan perasaan cinta dsb.

    BalasHapus
  3. enggak mudeeeng hahaha LoL

    BalasHapus
  4. hahaha... sy payah yak? hm... begitulah adanya mang mau gimana lagi wahahahaha, ceritamu juga bahasanya ketinggian

    pengaruh yg lg dedemenan kali ya, cinta mati (posesif) apa cinta sampai mati wihihihi LOL

    BalasHapus