8.22.2012

SURYA FAJAR

padahal kau belum mengerti
terlalu cepat engkau pajar
surya sial
o
surya sial
terlalu cepat engkau pajar
padahal kau belum mengerti

(Seharunya malam lebih panjang
biar lebih lama aku merasa tenang)


Juli 2012

8.18.2012

KITA BERSAMA

yang terlantar dan diabaikan
penghuni trotoar dan pinggir kota
yang terpingkar dan diremehkan
penghuni dusun kampung desa
"mari, ayo kemari,
kita raih kemenangan
jangan kecilkah hati
kita raih kemenangan"

8.13.2012

ALAS KAKI




dari sini ke situ, diinjak
dari situ ke sini, diinjak
dari apa ke apa, diinjak
dari mana ke mana, diinjak

alas-kaki ini dan itu
lama maupun baru
sama saja alasnya
diinjak takdirnya
dimana pun
kapan pun
alas-kaki
ya alasi

kalau alas ditanya kenapa
kaki yang jawb “alas lah tuahnya”

8 Agustus 2012

8.11.2012

LARA ASA



senyap rasanya
tanpa sunyi pun
tanpa sepi pun

sepanjang jalan
harapan tak pernah lengang
hingga aku merangkak lelah
ramai nyatanya meyirnakan

aku lelah
senyap dalam riak nyaris menikam

diantara celah langkah-langkah
jejer harapan ingin mewujud
tapi kini dalam kelelahan

setelah terang matahari
selimuti aku gelap
aku lelah

biarlah lara ini
tolongi aku meraih senyum
bersemayam bersama asa
bukan menuju putusnya


21 Februari 2009 Parigi

JERAT MATERI



mulanya dasar kebutuhan
kemudian di-ada-kan saja
kemudian di-ada-ada-kan
kemudian memaksa ada-nya

20 Agustus 2008 Parigi

8.08.2012

PETUAH


:
PENDIDIKAN
TERPADU
ANAK
HARAPAN

JEDA



Keseharian kita, siang berganit malam, bergati siang lagi dan malam kembali, dan terus demikian, dengan kegiatan harian yang relatif sama. Menjalani kegiatan harian, lelah, tidur, dengan sediki pariasi, kehadiran sesuatu yang menyenangkan dan berbagai persoalan, dan terus berulang.

Terbangun dari tidur, tersadar dari khayalan, tiba-tiba kita dalam kenyataan yang lain lagi. Kita berada di suatu kenyataan yang memungkinkan terciptanya hubungan-hubungan dengan teman, sahabat, kerabat, keluarga, atau orang-orang yang baru kita kenal. Dan ini lah kenyataan yang membuat kita bosan, kecewa, cemas, gelisah, takut, bingung, putusasa, dan sesal, dsb.

Aku kira, memang tidak satu maklhuk pun yang secara sadar ingin berada dalam kesusahan—diantaranya merasakan apa yang tersebut di atas. Dapat dipastikan bahwa setiap gerak kita selalu merujuk pada harapan kita untuk bahagia, menikmati hidup seperti dongeng-dongeng dan berupaya menciptakan suasana seperti surga. Sehingga perasaan susah dianggap sebagai hal yang mebuat kita murung. Tetapi percayalah bahwa perasaan-perasaan yang sebagian disebut di atas akan selalu menyempatkan diri hinggap pada setiap yang berperasaan dan berpikiran, kapan pun dan di mana pun.

Kebanyakan orang di antara kita, bahkan siapapun—termasuk aku—seringkali ingin mengusir, menapikan, bahkan membinasakan perasaan-perasaan semacam itu. Padahal,“tidak satu pun keber-ada-an di ada-kan dan meng-ada tanpa hikmah”, tak terkecuali keber-ada-an perasaan tersebut. Bukankah seluruh yang diciptakan Tuhan Yang Mahaesa itu bermanfaat bagi siapa saja yang tekun melakukan tafakur?

Jika setiap keber-ada-an itu disertai atau memiliki hikmah, lalu bagaimana dengan bosan, kecewa, cemas, gelisah, takut, bingung, putusasa, dan sesal, dsb?

Upaya menjawab pertanyaan itu dapat kita mulai dengan mencoba mengetahui, mengerti, dan memahami sebab munculnya perasaan tersebut. Untuk itu kita harus melakukan renungan terhadap sikap dan perilaku kita sendiri dalam menjalani kehidupan; bagaimana kita menyapa lingkungan dan memperlakukannya, bagaimana kita menanggapi respons-respon dari lingkungan terhadap kita; mengapa kita kecewa ketika dibohongi? Pantaskah kita merasa kecewa karenanya?

Pengetahuan terhadap sebab keber-ada-an sesuatu sangat membantu kita untuk mengungkap dan menyelesaikan apa yang dianggap sebagai masalah. Jawaban atas soalan ‘mengapa kita kecewa ketika dibohongi?’ dan ‘pantaskah kita merasa kecewa karenanya?’akan menjadi petujuk utama dalam upaya menjawab ‘apa hikmah dari bosan, kecewa, cemas, takut, bingung, putusasa, dan sesal, dsb, yang kita rasakan?’

Aku boleh menganggap bahwa perasaan-perasaan tersebut sebagai jeda. Jeda yang disediakan Tuhan agar kita berkenan sejejnak saja berhenti dari rangkaian acara kehidupan yang kita susun dan jalani untuk mengingat yang telah kita jalani dan kita capai; jeda agar kita kita berhente sejenak untuk mengerti dan memahami kita di masa silam dan kita di masa kini, dan apa yang sebaiknya kita harapkan di masa mendatang serta melakukan perencanaan demi pencapaiannya.

Aku boleh menikmati bosan, kecewa, cemas, gelisah, takut, bingung, putusasa, dan sesal, dsb, yang tengah kurasakan sebagai upaya dalam mencapai pengetahuan, pengertian, dan pemahaman tentangnya. Jika perasaan itu disertai hikmah, maka aku tidak ingin kehilangan kesempatan nikmat yang Tuhan sediakan. Segara perasaan yang ragam yang Tuhan ada-kan, hingga sebagian banyaknya tidak dapat diungkapkan dengan kata, tentu akan lebih berarti jika menikmati untuk mensyukurinya. Hanya dengan begitu lah kita akan sanggup menggapai ketenangan dan merancang perjalanan yang menuju bahagia. Karena jika “hanya mengeluhkannya akan menghalangi diri dari cahaya”.

Aku kira, Naik dan turunnya kualitas diri diawali dengan ke-bingung-an, ke-gelisah-an, ke-khawatir-an, dan ke-putusasa-an, dsb. Sebelum naik atau turun ke suatu tahap, diri akan mengalami transisi. (Di sini aku anggap sama transisi dengan jeda). Di masa transisi lah kesempatan yang paling penting untuk menjawab: apakah kita hendak turun atau naik?

20 September 2011



TAKUT


takut merasa takut duka 
takut merasa takut lara 
takut merasa takut kecewa 
takut merasa takut suka 
takut merasa takut cinta 
takut merasa takut bahagia

2011

8.07.2012

MAHA

Kau, Tenang, tenangkanlah, tenanglah jiwa yang tak tenang.
Kau, Bening, beningkanlah, beninglah jiwa yang tak bening. 
Kau, Terang, terangkanlah, teranglah jiwa yang tak terang.
Kau, Senyum, senyumkanlah, senyumlah jiwa yang tak senyum.
Kau, Cinta, cintakanlah, cintalah jiwa yang tak cinta.
dan Kau, sampaikanlah, sampailah titikiku bersamaMu.

BERSAMA AKUM

Siapa saja boleh ikut menikmati jasa Akum (angkutan umum) seperti Angkutan Kota (Angkot). Aku pernah duduk berdampingan dengan Guru, Dosen, Nenek penjual ikan asin, Kakek penjual gula aren, Ibu tukang warung, tukang gali sumur, pegawai KUA, mantan Kepala Sekolah, anggota TNI, vertan, tukang kain, sopir truk, preman, waria, siswa Sekolah Dasar hingga mahasiswa S3, hingga beberapa kali bersebelahan dengan sarjana yang murung dan lusuh karena masih juga nganggur. Mereka berbagi pengalaman dan pandangan hidup denganku.

Akum mampu menampilkan potret Indonesia sebagai suatu negara dan bangsa. Berbagai latar belakang dapat kita simak selama perjalanan bersama Akum. Apapun status sosialnya, dari latar belakang keluarga bagaimanapun, bersama Akum harus rela bersikap dan berperilaku sederhana, harus siap berbagi kursi meskipun berdesakkan. Seorang teman, ketika diskusi bersama beberapa anggota komunitas Baca di suatu SMA di Kab. Subang, mengatakan bahwa, ''di angkot pun tersedia sajian kebijaksanaan''.

NEGERI JANGKRIK

Krik…krik…bernyanyi.
Anak-anaknya loncat kesana dan kemari,
ada di sana dan di sini. Jangkrik-jangkrik bernyanyi,
seolah sedang  mengusir sepi.

Krik…krikk…alunkan kabar kembira,
bahwa hujan telah datang pada musimnya,
akan menyirna retak tanah yang menganga.
Seolah bangkitkan harapan yang hampir hapa.

Kami bangsa tani, ingin senyumkan hati
menatap kuning-ke-emas-an-nya padi,
sumber penghidupan negeri yang indah permai
namun lesu gontai lunglai.


3 November 2011 

MASA

Waktu/masa/saat merupakan makhluk yang diberikan kekuasaan oleh Alloh melebihi makhluk lainnya.

Ia pula yang akan menjadi masalah paling njelimet bagi muslim kedepannya (setidak-tidaknya begitulah bagiku).


30 Agustus 2011

KEPADA SESAL !


Lama sudah mencoba memahami yang kusebut Sesal. Kamu pun tau betapa akrab Sesal dengan Diri yang selalu harus memilih. Kita pun tau, betapa getir suasana yang Sesal ciptakan. Tetapi itulah, peringatan yang benar seringnya dirasa atau terasa menyesakkan.

Yang ku fahami, sementara ini, Sesal adalah sahabat yang baik dan setia. Ia begitu tekunnya mengingatkanku bahwa saya telah keliru. Ia lah sahabat penasihat yang patut kuakrabi dan kucintai.

Kurasa, siapa pun tau bahwa Sesal suka membuat suasana tak nyaman. Maka, bagiku, kepada Hening saya mengadu. Kepada Hening saya buncahkan segala kejengkelan, kemarahan. Kepadanya pula biasanya saya curahkan segala ke-tak-berdaya-an.

Bila Sesal datang menyapa, saya segera lari kepada Hening. Kamu tau mengapa lari dari Sesal? Ah, ya, Sombong mangajariku begitu: saya harus percaya diri meskipun dalam keliru. Ia pun menegaskan bahwa “Sesal itu makhluk tak berguna, dungu, bodoh, minder, dan suka membuat kita tersiksa. Akrab dengannya hanya membuatmu terasing dan mengasingkan diri. Usir dan lupakan Sesal itu”.

Tololnya saya semakin nampak ketika kuamini sabda si Sombong. Rupanya, semakin keras kuenyahkan Sesal semakin setia ia menemani, semakin tekun sesal mengakrabi. Saya dibuatnya jengkel, marah, dan murka. Tetapi Sesal tak juga lelah, meskipun dayaku habis karena memusuhinya, dan saya tak mampu lagi lari.

Perlahan saya terima ia. Dengan senyum yang membayang, Sesal merengkuhku dengan hangat. Belainya saya nikmati. Kemudian saya mulai berkenan mengerti. Rupanya, Sesal tak bermaksud membuatku jengkel, marah dan murka dan semacamnya. Ia hanya membawa pesan bahwa saya telah keliru. Ia bagai lentera, bersamanya saya jejaki kenangan. Sesal tunjukan dan membimbingku hingga sampai kepada pengertian-pengertia­n. Ia setia menyertai


AYA

aya nu aya
sami bae aya na

aya nu nga-aya-keun
aya nu di-ayak-eun

aya nu di-aya-aya
aya nu nga-aya-aya


SEJENAK

nikmati gelap malam, remang bintang, gubahan serangga,
dan kusapa sunyi, barangkali ia akan sampaikan makna,
tentang jiwa-jiwa yang mengeluh dan menderita.
dalam keheningan ini, entahlah, aku bagamana!

berhenti sejenak, untuk dapat kembali menyimak.
bagaimana jejak yang silam hingga aku di sini, kini.
mungkin kutemukan makna yang baru menampak,
untuk dongeng yang mungkin akan kualami, nanti.

semilirilah engkau, mengalirlah cinta,
mengusap hati yang tengah nestapa.
berpasang-mata mengalirkan air mata,
perasaannya terluka, diinjak, dan hampa.

bernyanyilah engkau, melagulah cinta,
melipur setiap lara asa, mengalun damai.
aku sedang ingin mengerti mengapa,
bagaimana dapat hingga aku di sini, kini.


November 2011

8.06.2012

BILA HARUS

Malam :
bila harus pergi,
biar kutunggui embun subuh.
Ingin kureguk sejuk.
Mungkin nanti aku tak lagi sempat.
Kembang :
bila harus layu,
biar kunikmati warna-warna.
Ingin kurangkai indah.
Barangkali punyai makna.
Hujan :
bila harus datang,
biar kubasuhi jiwa.
Ingin kureguk makna.
Siapa sangka esok gersang.
Semesta :
bila harus kusapa,
biar kuluangkan masa.
Ingin kupahami zaman.
Hingga tenang dipelabuhan.

12 Oktober 2012 Bandung

KAMPUNG INDONESIA

Indonesia terlanjur di kenal sebagai negara agraris dan maritim. Kesuburan tanahnya, kemakmuran airnya, kearifan warganya, serta keluhuran falsafahnya (Pancasila) cukup menjadi alasan untuk tidak merasa aneh kalau para tani dan nelayan berkehidupan sejahtera. Kesejahteraan mereka dapat dijadikan jaminan bagi Indonesia untuk disebut sebagai Negara Kesejahteraan!

Temanku, mahasiswa Ilmu Kesejahteraan Sosial di Bandung, ''kalau laut di Kepri (Kepulauan Riau) dikelola dengan sungguh-sungguh dan jujur, anak Indonesia tidak usah pusing memikirkan biaya pendidikan anak-anaknya.'' Aku tidak terlalu mengerti tentang laut dan nelayan. Jadi, aku cuma bergumam, ''hmmm...mungkin.'' Ya, mungkin benar yang dikatakannya, toh dia putra sulung nelayan Anambas.

Obrolanku suatu siang dengan dua dosen dan tiga mahasiswa, di depan Jurusan Ilmu Kesejahteraan Sosial di Universitas Pasundan, tentang pedesaan. Pemerintah tengah mencatat Indek Daerah Tertinggal (IDT), dan menggarap porjek pembangunan masyarakat pedesaan. ''Beberapa tahun projek itu digarap dan beberapa IDT sudah menikmatinya. Tapi yang dinikmati bukan kesejahteraan masyarakat, sebagaimana tujuan program tersebut. Saya melihatnya sebagai bagian dari upaya melepaskan tanggungjawab Pemerintah saja.''

Kawanku, orang Tasikmalaya, mengajukan pertanyaan kepada kami, ''kita tau alasan mengapa negara ini dikenal sebagai negara agraris, lalu mengapa para tani mengeluhkan pertanian mereka, para sarjana pun enggan pulang ke kampung halaman, termasuk sarjana pertanian?''

Pertanyaan itu langsung disambut oleh Prof. Rusam, ''sejak sekolah dasar, sejak kecil kita tidak diakrabkan dengan lingkungan di mana ia lahir dan tinggal. Sebagian banyak anak petani yang kuliah tidak mengerti bagaimana benih padi dapat menyekolahkan mereka. Beliau balik bertanya, ''di sekolah mana kalian belajar memahami mudah dan susahnya menanam, memelihara, dan memanen padi?''

Di lain waktu, aku juga pernah berbincang tentang modal sosial dengan Dr. Huraerah di kantor Jurusan Ilmu Kesejahteraan Sosial di Universitas Pasundan. ''Konesp pembangunan modal sosial sedang digandrungi para pelaku pemberdayaan dan peneliti sosial. Itu merupakan konsep pembangunan masyarakat yang menutamakan ikatan sosial suatu masyarakat dengan dasar kesaling-percayaan, norma-norma....''

Lama kami membicarakan itu, dan kufahami bahwa kita memang harus mengenal asal kita dan berbagai budaya yang tengah hidup lama di melingkungi kita. Toh masalah pengemis, pengamen, gelandangan di kota-kota berasal dari daerah, dari kampung-kampung, yang pengetahuan dan ilmunya pas-pasan. Sudah untung sekolah sampai SLTA, saking mahalnya biaya sekolah yang harus ditanggung!

Kawanku, orang Anambas, bernostalgia. Kami berdua menikmati kopi dan goreng tempe di pojok pasar tradisional di Kota Bandung, yang kumuh tapi tetap rame kengunjung. ''Benar kata Pak Rusman, sejak kecil saya telah diasingkan dari negeri sendiri. Tak pernah saya dengar guru menerangkan tentang nelayan. Saya baru menyadari setelah kuliah bahwa nelayan seperti Bapak saya patut dihormati. Mereka memberi arti penting laut bagi negara.''

''Ah, itu perasaan saja...'' timpalku.

''Gak'' balasnya, memotong tanggapanku. ''Guruku menceritakan tentang tokoh-tokoh revolusi di dunia, tentang perang duni II, tentang kemajuan bangsa lain, dan perjuang dan perjuangan bangsa kita. Tapi sejak SD, tidak diterangkan tentang nelayan, tentang resiko ketika menangkap ikan...apalagi tentang peran nelayan yang memberi arti kayanya laut kita.

''Lalu kudunya bagaimana?''

''Ya...setidaknya...setidaknya beri mereka kapal penangkap ikan dan perlengkapannya yang canggih, seperti Tailand, misalnya, yang mencuri ikan di perairan Indonesia. Toh, hasil tangkapan nelayan kita pun tidak akan kemana-mana. Lagi pula, kesejahteraan masyarakat nelayan perbatasan, seperti di Kepri, saya rasa cukup menjami keamanan perbatasan. Ini malah ribut rebutan perbatasan....''

Aku benar-benar tidak mengerti canggih tak cangihnya. Aku diam saja dan malah jadi melamun tentang Kampungku, masyarakat tani di sana yang mengeluhkan hasil panen mereka. Harga pupuk dan obat pembasmi hama mahal, harga jual padi murah tak sebanding dengang harga beras.Llebih payah lagi disaingkan dengan beras impor yang murah meriah. Mengapa pula harus impor, bukankah Indonesia itu negara yang indah permai dan subur makmur!

''Saya kira, nasib petani pun tidak cukup beruntung, seperti nelayan. Kita tidak sedang bicara keseluruhan tani dan nelayan. Tapi sebagian besarnya memang menyedihkan. Aturannya daerah lumbung padi, malah dimerihkan oleh pabrik-pabrik, aturannya daerah resapaan air, malah ditumbuhi vila-vila....''

Dia menabahi keluhanku, ''aturanya balik kampung ngembangin pertanian, malah nangkring di kota, ribut masuk pabrik.'' Sambil tertama kecil dia nyerocos lagi, ''tapi...emang jadi tani itu kotor, jadi nelayan panas-panasan....''

Jam di henpon menunjukkan 03.52. Kali ini aku lebih asyik menyimak ocehan kawanku yang sedang menam benih semangat membangun kampung nelayannya. Semntara ia masih asyik berpikir dalam lamunan, aku sudah lelah, ''ah, sudahlah, atur-atur saja aturannya. Yang harus kita ingat, persoalannya tidak hanya itu. Kalau tidak kita, semoga anak kita bisa menyatakkan lamunan kita...pulang.''


November 2011 Bandung

GERUTU UNTUK IBU

(Surat Singat untuk Kaum Ibu : Peringatan Hari Ibu)


Yang kuhormati, Ibu.

Taukah, kau?
Cerita indah tentang kaum Ibu, tentang pengorbanannya selama si jabang dalam kandungan, tentang rasa sayang kepada anaknya, tentang sikap dan perlakuan yang lembut dan ramah terhadap buah cintanya. Siapa pun tak kan aneh bila menyimak pengorbanan kaum Ibu demi anaknya, nyawa taruhannya. Itu cerita berulang, mungkin, sejak jaman purba. Wajar jika Nabi memuliakan kaum ibu dari pada kaumnya sendiri, kaum Bapa.

Taukah, kau, Ibu?
Ketika ramai anak-anak memuji kaummu, terlebih di Hari Ibu, aku terharu, aku sedih, dan merasa menderita. Mengapa cerita mereka tentang kaummu tidak pernah kunikmati! Taukah, kau, Ibu?

Sejak dalam kandungan aku kau nistakan, kau tidak terima aku sebagai anugerah bagimu. Buktinya, kau buang aku. Padahal kau tau akulah bayimu. Bayi yang ingin memujamu sebagaimana kebanyakkan anak. Jika kau berbuat dosa, itu dosamu, dosa atas kecerobohanmu. Kau relakan dirimu dibujuk rayu iblis bengis rakus dan nista dan bejat dan....iblis yang kau sebut ''cinta'', yang kau panggil sayang, yang kemudian menjadi ayah sial dan petakaku...aku dibuang hina...malukah?...mengapa?

Taukah, kau, Ibu, bagaimana aku mati? Tapi ketahuilah, Bu, aku tak sendiri. Aku dan mereka, dikutuk rindu terlarang, rindu memujamu, menghormatimu, menyayangimu. Jika aku mati kedinginan dan kelaparan di tempat sampah, maka yang lain pun sama. Bahkan lebih mengerikan, mereka di cincang, dibuang dalam bungkusan.

Taukah, kau, Ibu?...ah sudah lah.

Ibu, dengan rindu yang senantiasa menggerutu, ku tunggu kematianmu. Nanti, jawablah aku!


22 Desember 2012 Gardusayang

SEBAIKNYA


ya
tidak
harus
tidak
ya

24 desember 2011 Parigi

KUPUKUPU

kupukupuku
kupukupukupunyamu
kupukupumu
kupukupukupunyaku
  mukupunyaku
kukupukupukanku
kumupunyamu
kukupukupukanmu
kupukupu
ku mu
mu ku


24 Desember 2011 Gardusayang

MARYAM

perawan
menawan
melahirkan
dokter pujaan
ke zaman-zaman

Untuk Putra Maryam r.a., yang terlanjur dirayakan di tanggal 25 bulan akhir setiap tahun Masehi, Isa Alaihissalaam.


24 Desember 2011 Gardusayang

R.A.K.U.S

eja kan
padu kan
baca kan

k a ka
s u su
rrrrrrr
kasur

s a sa
k u ku
rrrrrrr
sakur

s u su
k a ka
rrrrrrr
sukar

kan kan kan


24 Desember 2011 Gardusayang

MENGALIR


jika kehidupan
seperti air
tetap mengalir
perlukah keraguan

jika keadilan
seperti air
meratakan permukaan
patutkah terbuai getir

maka sepertilah air
teladani yang ia ukir
tak gentar tergenangkan
hilang terbeku-uapkan

jika memang demikian
maka tetaplah bertujuan
bukan kepada lautan
tapi menuju batasan

maka air
melahir
menghilir
mengalir


2 Januari 2012 Parigi

SAPI DAN MANUSIA


Anak Sapi dan anak manusia, suatu masa, duduk di tapal batas dunia-aherat. Mereka saling bercerita, tertawa gembira, senyum, dan menangis, dan rupa-rupa hingga lelah, kemudian tidur.

Tiba-tiba mereka berada di sebuah ruangan bercahaya kemilau sekelilingnya, hingga tak tampak apapun selain mereka berdua. Mereka terdiam dan saling memandang. Tak lama kemudian terdengar suara berkata-kata dengan gaya seolah sedang becerita atau semacam menyampaikan pendapat kepada lawan bicaranya :

''Hal terpenting bagi anak (batita/balita) adalah susu. Bukan cuma tentang kepentingan jasmani dan rohani si bayi, tetapi lebih dari itu : se-susu-an berarti saudara

Bagaimana dengan sapi (betina) yang susunya dinikmati bayi kita? Bersaudarakah mereka, anak Bapak/Ibu dan anak sapi itu?

Entah bagaimana membahasnya. Tapi akan lebih bijak jika kaum Ibu berkenan menerima petuah :
sayangi buah dadamu demi buah hatimu

Dan, entah bagaimana juga pendapat para Bapa tentang buah hati. Mungkikah para suami juga akan berkata (kepada sang istri) denga rajuk dan rayu bahwa : aku pun buah hatimu ?''

Berdua tertegun, tetap diam, dan kembali saling memandang seraya menunggu lanjutnannya. Tak terduga, apa yang didengar kemudian adalah rangkai kata yang mereka susun bersama sebelum tidur, sebagai curahan anak sapi dan anak manusia :

SAPI DAN MANUISA

Ibuku berkata
dan Ibumu juga
kata-katanya sama
katakan bersama-sama :

susuku
susumu
susunya kita
susunya anak kita

lenggang mereka
senang gembira ria
ibumu Ibuku sama
ibu-ibunya kita

“kita : sapi dan manusia”


Desember 2011

CENG

ceng
cing cicing
ulah culangcileung
kajaba deuih cungceng
komo mun loba cingcong
lah ku kami mah di cangcang
omat ingetinget ku ilaing nya ceng
heug angger wae ku kami mah dicingcang

17 Juni 2012

TAKDIR LILIN



''Lenyaplah lilin karena api''

''Perhatikan lilin, ia kegelapan ketika apinya menerangi. Jadilah pelajar yang baik, agar tidak seperti lilin yang meleleh ketika ia menerangi yang lainnya...'' beberapa kalimat dari nasehat Gurunya, di suatu siang, selalu ia kenang.

Terangnya remang, tapi berarti bagi mata dan yang diwakilinya...

Setelah perbincangan itu, aku suka dengan terang lilin. Bila jelang tidur, aku mematikan listrik untuk menyalakan lilin. Aku pandangi ia sembari meliarkan lamunan.

Cukup lama, kemudian kutemukan kalimat nakal...

Bukankah melehpun ia memang menerangi? mataku mengakui itu. Arti penting lilin tak dapat ku tolak. Ia punah dalam pengabdiannya, memberi terang ketika gelap. Meleleh, kemudian punah dicumbui api, maka teranglah...dan bukankah itu alasan mengapa ia diciptakan?

6 Juni 1012

MANGSA



Angin, angin,
Hiliwirkeun geuning
Malaharna diri nu wening
Seungit asih ning bantin geuning

Dalingding mawa hariring
Carita mangsa katukang
Geuning taya aling-aling
Harita jeung nu di sawang

Kiwari, mangsa pasini
Ngajadi ngolepat kilat
Teu karasa ku pikir ati
Jol geus liwat, kaliwat

24 Mei 2012

HILANG TAK TERBILANG !


luka sayat
darah muncrat
kemudian leler meleler
kemudian berserak tercecer
jiwa sukma yang terkoyak hancur
dan raga badan yang hilang melebur

"esa hilang, dua terbilang"

biarlah tak terbilang tak dikenang
hilang pun kami dalam berjuang
tanah-air yang kami
perjuangkan demi
bangsa ini
kami

biarlah terabaikan
biarlah terlupakan
biarlah diabaikan
biarlah dilupakan

19 Juli 2012

8.05.2012

NOL

(Akan Sudah)
2010/09/01


di hulu
menuai tau
di mula
memetik tanya
ke hilir
mengikuti takdir
ke muara
menjejak mantra
mereka
kita
kamu
aku
ada
bersua
berpisah
sudah


20 Agustus 2010

TAMAN RIARIA


2011/05/15

Ahir pekan, Sabtu ke-3 Bulan Mei Taun ini. Kami mendapat kesempatan masuk dan menikmati berbagai fasilitas Suatu Taman Ria di selatan Kab. Subang. Waw…ramai…menyenangkan. Memasuki halaman parkir, menuju pintu masuk, berjalan menuju kolam, ”…akhir pekan dan momen liburan panjang, ini harus menyenangkan” pikirku.

Berkumpul melepas penat rasa
Rebah badan di kolam hangatnya
Canda tawa senyum mesra
Sementara pun luapkan saja

Sebagai lelaki, aku berusaha memperhatikan semua dan segala, dan tentu saja wanitalah makhluk yang paling sungguh-sungguh aku perhatikan. Bedanya taman ini dengan taman terminal adalah harapan, menurutku. Siapa saja pengunjung yang datang memang mengharapkan kecerian, lepasnya penat pekerjaan dan pelajaran, membuang bosan, tertawa-tawa, bermesra-mesra. Atau sekedar cari-cari teman yang siapa tau berjodoh, meskipun benar-benar jodoh sementara.

Hidangan yang biasa-biasa
Diantara keremangan cahaya
Berserak paha tua remaja
Lengkapi lena di taman ria

Aku suka di taman ini, dan merasa perlu untuk merasa senang meskipun bagiku tak ada yang sungguh istimewa. Kami berbagi cerita kocak, saling menimpali kekonyolan. Selain terlupa kekhawatiran, meskipun sebentar saja, semuanya memang tak perlu ku anggap penting.

Begitulah, benar-benar sebentar, lenaku tergangu. Sialan benar harus teringat kata pepatah lama. Padalah aku tau bahwa ini bukan saat yang tepat untuk secara teliti merasa dan memikir apa pun. Ketika di taman ini sebenarnya aku ingin tertawa, meskipun karena ocehan atau ingatan atau tingkah yang kuperhatikan yang tak lucu.

Sekejap ingat kacaunya negara tercinta
Semberawut acak sukar terfahaminya
Mungkin benar kata pepatah lama
”wanita adalah tiangnya negara”

Lirik-lirik, sya’ir-sya’ir, sajak-sajak, derama-derama, dan karya-larya pujangga telah lama mengingat-ingatkan bahwa tiada yang abadi, tiada yang sendiri, tiada yang kembali; Semua melangkah, semua bertingkah, semua berubah. Kesenanganku terganggu sudah, kemudian aku diam diam saja, hilang selera, kemudian terdiam menunggu pulang.

14 Mei 2011

CATATAN KITA


2011/03/13

Belum lama kurasa,
kusimak engkau bercerita.
Berbagi soal dan jawaban.
Betapa mesranya kita, kawan.

Angin semilir mengusap kita.
Hujan juga sering menyapa.
Dan kita tetap bercerita,
tentang kemarin dan esoknya.

Ibarat pelangi saja kita.
Bersama melukis suatu masa.
Pun ketika gelisah menyapa,
kita berbagi sepantasnya.

Kusimpan sudah dilembar jiwa,
tentang kita di segala suasana.
Itu lah kita dalam catatan,
kurasa pantas kuabadikan.

Januari 2011 Parigi

SESAMA


2012/02/04

Ku simak dalam benak apa yang sering kudengar dari para tetua, ”tunggal sesama”. Berulang-ulang ku perhatikan dalam lamunan, ”tunggal sesama”. Kita, manusia, harus sanggup mengormati dan menghargai ”sesama hidup”. Itu bagian dari tugas kepemimpinan yang menjadi takdir manusia.

Ya, ”tunggal sesama” bicara tentang batu, tanah, angin, air, api, rumput, binatang, manusia, malaikat, iblis, langit, bintang-bintang, rembulan, dan segala macam yang Alloh ciptakan. Ini tentang iman perihal ”cipta”, yang diciptakan dan yang menciptakan, makhluk dan Kholik.

Pemahaman terhadap ”tunggal sesama” merupakan bagian dari bekal dalam menempuh jalan menuju Yang-Maha-Esa, Allohurobbul’alamiin.


SAMPAI NANTI

2010/05/29

Rasanya, belum lama kami bincangkan tentang kampung, agama, tradisi kampung kami yang sudah hilang, tentang MI…. “sekarang sedang mendalami sufi. Dekat, di Kabupaten Guru kami. Mahir tafsir… Sekalian, ini, mau ngajak belajar. Di kampung ini saya sendiri yang kesana. Kalau berdua, kan, ada teman perjalanan.” Rupanya, itu ajakan ia yang terakhir, untuk mendalami agama bersama.

Sayangnya, aku menjawab “sebagai murid Kesejahteraan Sosial, tentu tugas utama saya mengamalkan keilmuan saya. Senantiasa mencari jalan agar masyarakat kampun ini tidak terlena persoalkan uang untuk membeli makanan sahur atau berbuka puasa. Itu tidak soal, sebab di sini masih ada MI. itu yang akan kita garap bersama.”

Sampai jelang subuh kami berbincang. “kalau kamu sudah santai, nanti, kita akan urus MI….”

Asep Muzib, saudaraku, tiba-tiba saya murung, sekarang. Bapak-bapak kita berjalan beriringan, mengapa aku masih di sini, sementara kamu sudah ke sana duluan? Siapa di sampingku nanti saatnya mengurusi ini? Bukankah di panen depan kamu akan menikah? Hhhh…tapi tenang-tenang saja, kamu sudah mapaikan harapan-harapan kamu tentang kampung dan anak-anak nanti. Itu do’o.meskipin. sungguh, saya belum faham tentang takdir, seperti yang sempat kamu terangkan. Padahal saya masih butuh kamu untuk belajar.

29 Mei 2010. Pagi ini, kabar yang kudengar menggiring angan ke masa sislam. Tentang cita-cita, tentang harapan kami, tentang ide kami yang sama. Wafatmu pun kudengar ketika rembulan malah betah dengan cerah pagi yang masih berembun. Bahagialah kamu!, …

29 Mei 2010

JERIT TERAKHIR


2009/11/25

Menangis akhirnya dengan jerit mengkhawatirkan. Puncak kesedihannya ia ungkapkan dengan pingsan. Tak mampu kesadarannya memilihkan kata-kata, tak mampu menunjukan cara baik untuk menyatakan perasaan yang kehilangan.

Bulan terang. Angin semilir. Daun-daun saling berjabat dan risik lirih. Binatang malam berlagu merdu merayu. Suasana tetap senyap. Dari jauh terdengar samar seperti biasa, seruling bambu mengalun berayun-ayun, seolah mengerti bahwa ada rasa ingin ditimang-sayang. Sementara isakkan sisa-sisa tangis masih bersahutan, antara Nenek, Bapak, Adik yang menatap sang Kakak yang terbujur dan memejam mata dengan senyum.

Ibu yang biasanya tegar menebang belantara derita, kini pingsan sudah setelah jeritnya. Lama, mungkin hampir 70 menit, si Ibu tersadar dalam keheningan karena dilelahkan oleh kesedihan. Si Adik berusia delapan tahun itu nampak sudah nampak dewasa diantara kepilan dan kegetiran, mengambilkan air untuk Ibunya, ”minum, Bu!”, titahnya.

…,

Delapan tahun lebih Ibunya telah tiada, wafat 35 hari setelah anak sulungnya. Warsinih kini telah 17 tahun 10 bulan. Dua bulan mendatang ia beusia 18 tahun, dan sang Ayah meninggal karena sakit campuraduk. Sebelum meninggal, Warsinih yang membiayai pengobatanya. Meskipun jauh dari cukup perawatannya, namun sang Ayah mengangumi keikhlasan anak terakhirnya dalam merawatnya. Neneknya juga senantiasa mendoakan cucu tercintanya agar bahagia. Meskipun mereka tau bahwa Warsinih seorang pelacur, namun cinta mereka tak pernah pudar.

Kini Warsinih tinggal di rumah yang wajar, bukan rumah kardus dipinggiran gundukan sampah. Neneknya ia manjakan dengan perawat yang ia sewa khusus untuk si Nenek. Namun, Warsinih tetap pelacur. Itu saja yang ia mampu. Tidak tau jalan lain menuju lumbung rezeki. Maklumlah, ia “anak sampah”, Warsinih tak pernah bersekolah. Ia hanya tau jumlah uang recehan dan seabreg kebutuhan harian yang tak pernah tercukupi.

…-,

Peraturan Pemerintah. SatpolPP membubarkan tempat Warsinih mengais rezeki. Ia sempat diajari dosa dan keterampilan alakadarnya di Panti Sosial. Namun, sebelum sampai ke panti, ia sempat menikmati beringasnya syahwat kantoran. Dan, pelajaran dosa dan keterampilannya akan segera berkarat. Warsinih pun tetap, tak mengerti bagaimana memanfaatkan keterampilan yang sempat ia pelajari. Memang, wajar Warsinih bingung, toh yang sarjana saja bingung! Ia pun tetap sebagai pelayan syahwat, meskipun tempat yang sekarang lebih luas dan terbuka, di jalanan.

Warsinih tak tau neneknya meninggal. Keluar dari Panti Rehabilitasi, ia pulang membawa obat untuk Neneknya tersayang. Ia meminjam uang kepada temannya, yang selamat dari Razia tempo hari, untuk membeli obat. Sesampainya di rumah, ia pingsan setelah teriak kehilangan. Pengasuhnya tak lagi dirumahnya. Tetangga yang menceritakan kejadian slama ia di Panti, yang dititipi kuci rumah oleh pengasuh neneknya.

Dalam kekalutan sebab kesedihan, ia duduk di tempat ia mangkal. Mekipun Warsinih pemanja syahwat sialan, malam itu ia hanya mencari ketenangan. Ingin ia menitipkan laranya kepada angin malam. Namu, datang pelanggan dan memaksanya. Warsinih tentu menolak dengan sangat. Ia dipaksa. Kemudian ia mencaci, mencaci, mencaci, dicaci, mencaci, dicaci, mencaci…

Warsinih, sungguh sudah menjadi yatim-piatu. Di pagi ketiga sejak wafatnya sang Nenek, Marsinih ditemukan tergeletak dikolong jembatan. Sedikit memar di punggung dan pipinya. Ditemukan hanya mengenakan baju yang depannya telah sobek. 3/4nya telanjang. Entah bagaimana nasib rumah dan kisah kematiannya di tangan aparat. Yang pasti, tiga orang pemulung, sekeluarga, mendengar tiga kali jeritan. ”Seperti jeritan yang kehilangan gairah”, tambahnya nyeleneh sambil cengengesan.

18 Oktober 2009 Parigi

RAPUH

 
2010/05/12

Aku datang. Aku membawa gelisah nestapa. Meskipun aku sedikit saja mengetahui, tetapi, Kau, Tuhan, aku pun menyaksikan raut murung teraniaya bencana. Di Teve, di koran, di radio, ragam rupa bencana ditenarkan. Dan terngianglah, pun dalam benakku.

Aku ingin mendengar jawabanMu menyoal itu! Sungguhkah itu karena kejengkelanMu? Sungguhkah itu dendamMu? Karena cecerean dosa di atas hamparan jagatMu? Apakah dosa itu mencuri atau melacur atau merampas atau membunuh atau memfitnah atau menggunjing atau hasud atau takabur atau berjudi atau menyama-nyamakan atau…. Atau, Tuhan, dosa itu adalah abei? Abei kepada sebahagian ayatMu, sebab terlena?

Aku beranikan diri bertanya demikian, Tuhan, karena banyak juga hambamu yang lantang berkata bahwa: itu adzab agar yang terkena bencana segera bertobat dan bersumpah tidak mengulangi kelakuan dosa lagi. Yang bikin aku penasaran, mengapa mereka yang nampaknya masih rajin mengingatMu, meskipun mulutnya yang mengingat. Mengapa bukan mereka yang menginjak-injakMu dengan nalar, hati, dan mulutnya saja dulu…………………………………….……………hhh……………………………………

Tuhan, mengertilah, bukan bermaksud mengabeikan geliat alam disekitaran, tetapi cerita surgaMu sungguh bagus dan membuai impian. Cerita nerakaMu yang mengerikan pun membawa sirna sebahagian kesadaran bahwa apa yang dipijak dan segenap yang hidup di atasnya, juga ayatMu.

Aku ingin tau jawabanMu! Kelirukah jika aksara dalam mushaf itu kubacai dan dihafalkan, kemudian kufikirkan, kemudian ku gumamkan dengan lantang, kemudian ku indahkan dengan nyanyian, kemudian ku ukir dan ku sampaikan cerita surga dan nerakaMu? Atau keliru karena hanya itu saja, Tuhan? Atau, Tuhan…?

(mengingat bencana-bencana yang diingatkan si gempa 7.6sr Padang, dan lainnya.)

10 Oktober 2009 Parigi

CERITA UNTUK ANGIN



2010/05/22

Kuhormati, kau, Angin.

Ini suratku yang kesekian. Dan kau dengan sabar memperhatikan. Terimalah ungkapan kasihku lewat tulisan ini. Terimakasih, perhatianmu, kusyukuri.

Kini aku sedang seperti biasanya kau saksikan. Kembang yang kusanyang telah mekar. Tanpa purnama pun ia semerbak. Itu berkat keikhlasanmu dalam mengajarinya. Aku pasti itu. Belaian kasihmu membawa pengertian sangat tinggi dan mulia. Hingga dalam tidur pun kau bersamaku.

Mungkin jelas bagimu mengapa aku sangat sayang dan kasih. Kutegaskan, diamnya itu pesonanya. Ikhlasnya menerima polesan Tuhan itu kharismanya. Aku bertanya kepadanya, kini, adakah ia hendak bersolek? Hahaha…mungkin kau pun tak memperhatikannya, angin. Ah…dia, betapa aku sayang dan kasih kepadanya.

Aku masih mengingatnya. Tempo hari kau mengajarinya. “sempurna” seruku. Dengan mudah ia mengerti. Penjelasan yang kau sampaikan sungguh sederhana. Kemudian ia tak pernah beranjak dari tempatnya. Tak bertingkah untuk sekedar meraih perhatian. Hm…dan…itulah pesonanya. Ah, angin, betapa aku sayang dan kasih kepadanya dengan sangat.

Angin! Suatu senja aku gelisah. Matahari tak juga syahdu. Entahlah, ia Nampak pongah. Dan kembangku layu saja. Kuperhatikan lekat-lekat wajahnya. Ku ciumi ia. Dan dengan lirih sambil tersenyum, “kukabarkan, untuk mu aku senantiasa”. Aku ingin menangis sebab terharu. Ada juga khawatir. Gelisahku bertambah. Aku sayang dan kasih kepadanya, angin. Syukurku tiba-tiba, entah kusadari entah tidak, rona bahagia terpancar pada wajahnya. “Nampaknya ia memang baik saja”, gumamku. Dan aku menangis.

Angin! Kau pun menyangka dan aku iyakan sangkaanmu. Sebab asaku memaksa jujur, betapa aku mencintainya. Aku pun menyangkanya, angin. Dan memang adanya. Diamnya itu pesona dan keikhlasanya menerima polesan Tuhan itu kharismanya. Itu sebabnya, angin, aku sangat sayang dan kasih kepadanya. Tapi, angin, aku mengagumi ia. Kini aku seolah berguru. Kuharap kau pun menyanginya.

Sahabatmu, angin yang kuhormati.


17 April 2009 Bandung

LAYANG-LAYANG

2009/08/03

Aku bersiul. Bersiul seperti kebiasaan di kampungku. Turun-temurun diajarkan siulan begitu untuk memanggil angin. Kami harap angin yang baik hati dan bersemangat brkenan datang.

Aku pandangi lekat-lekat. ”Terbanglah engkau. Terbang dengan baik. Siulan ini demi keindahanmu.”

Rambutku mengibas wajah. Dan layang-layang ku lepaskan. ”Aku pegangi talinya. Terbanglah dengan indah.”

Senyumku memaksa untuk disunggingkan. Teriak masa silam bisingkan lamunan. ”Aku berhak mengaku ‘telah dewasa’ kini”, desahku dalam benak.

Senja ini sangat pengertian. Anginnya manjakan khayal. Kutatap langitnya seolah cerita silam tergambar di sana. ”Pasti Bunga Ashar di halaman sedang mekar. Aku akan segera pulang!”

Jangan terlalu keras menariknya. Jangan juga terlalu lemah.” Aku ingat, ketika aku belajar terbangkan layang-layang. Dengan senang hati aku diajari Kakak. ”Ada masanya mengulur talinya. kemudian tarik kembali. Demikian berulang-ulang!.”

Polos aku bertanya, ”untuk apa begitu?”

Mengimbangi angin. Di atas sana angin lebih kencang. Dan angin tak pasti arah. Jika tak begitu, layang-layangmu akan jatuh.” Aku diam, mencoba memahami. ”Lakukan dengan lembut agar terbangnya indah.”

Tawa kecil dari para perempuan memotong lamunanku. Aku pekakan pendengaran. Aku perhatikan agar memahami. ”Tawa itu dari jauh. Bising tentunya. Tapi kudengar begitu halus. Seperti layang-layang kah mereka?”

Sejak kecil, Ayahku mengajari arti penghormatan kepada Ibu dan perempuan. Hingga kini aku perlu belajar tentang itu. Aku diceritai kelembutan dan kekerasan perempuan. Aku juga dapati cerita tentang cara-cara semestinya memperlakukan perempuan. Tapi aku tak faham sangat makna cerita-cerita itu. Tetapi juga…aku akan terus belajar memahami.”

Kuhempaskan nafas dengan asap yang baru saja kuhisap. Seteguk kopi juga kunikmati. Dan gemulai perempuan menghampiri. kemudian duduk ia seperti murid yang baik. Menatapku dengan pancaran semacam harapan ingin di mengerti. Dimengerti sebagai wanita yang dihormati para Rosul dan Nabi-nabi.

Aku menatpnya memberikan kepastian. Aku dekatkan lamunanku dan kubisikan kepadanya, Kugenggam engkau seperti layang-layang yang sempat kuterbangkan. Demikian karena artimu bagiku.

Matahari izin undur. Ia sapaikan kepadaku dengan wakilnya, cahaya merah bara kehitaman, lembayung senja.

24 juli 2009 Lembang

UNTUK SEGENAPNYA


2009/12/19

Yang terdekat, Gin! Kau telah tumbuh dan merasai yang belum bernama. Kita tahu, bahwa keunggulan kita adalah dapat menikmati kesunyian. Tentu saja tidak cuma itu. Ada Kopi dan Rokok dan tempat yang kita kehendaki untuk bersendagurau bersama kesunyian. Banyak yang bilang itu aneh. Tapi ada juga yang menganggap wajar bila kita asyik dalam kesunyian.

Menurutku, Gin, bukan kesunyian tepatnya, tetapi keheningan. Kupikir, kesunyian itu kembaran kehampaan atau kekosongan. Nyaris tak ada kegembiraan atau kepenatan dalam kesunyian. Kuharap kau setuju dengan ini. Dan kita akan gunakan keheningan sekarang, bukan kesunyian.

Masih ingat dengan puisi Bayang-bayang, Gin? Yang pernah kau sampaikan tempo dulu. Kau sempat ceritai aku tentang arti penting bayang-bayang bagi kita. Kucoba membayangkan bila kita tak memiliki bayangan! Hahaha…aku membayangkan wajahmu yang keheranan ketika menyaksikan ternyata tiada bayanganmu saat berjemur di pagi hari. Atau ketika aku berjemur dan kau tak melihat bayanganku…hahaha…

Ketika kau suguhi aku dengan puisimu itu, jujur saja aku terkejut. Selama ini aku mengabaikan bayanganku. Dan kau tau aku menertawai puisi itu. Dalam benakku, aku berterimakasih. Maka ku suguhi setengah cangkir kopi dan tiga batang kretek kesukaanmu sebagai pengantar tidur. Kau masih ingat itu, he? Ya, pagi itu, saat kau duduk ditentang matahari.

Ternyata, aku semakin mehormati bayang-bayang. Semaki aku dalam menyelam, semakin kagum kepada cahaya. Rupanya, dalam pikirku, cuma cahaya yang tak berbayang. Dan kekagumanku kepada cahaya lebih karena ia memperuntukkan dirinya bagi apapun yang terjangkau. Sederhana saja rupanya ia. Meskipun dirinya menjadi samar, cahaya tetap sinaran.

Gin, menyoal cahaya dan jangkauannya, pernahkah kau bayngkan bagaimana bayangan angin? Ya, angin. Angin yang selalu kita titipi salam untuk orang-orang tersayang. Aneh bagiku, mengapa kita selalu mengucapkan salam dan menitipkannya kepada angin! Ah, biarlah itu, nanti saja kita soalkan. Kita bertualang saja di dunia kenangan, sekarang. Aku pernah tanyai kau mengapa daun bergoyang ketika angin membelainya, dan kau malah mengerutkan dahi, Gin. Entah kau tau atau tidak. Atau kau belum faham soal pokoknya. Tapi itu kenangan yang masih perlu jawaban, jika belum tepat jawaban yang kita sepakati tempo hari.

Maafkan aku, Gin, mengajakmu menapaki kembali jejak yang pernah kita buat. Aku tau, kau sibuk dengan segala yang sempat kau saksikan, sekarang. Tapi percayalah, ini penting bagimu. Mungkin Tuhan tersenyum, bahkan mungkin tertawa, mengetahui kita persoalkan cahaya dan mengaguminya. Karena, kupikir, itu memang bagian anak tangga yang perlu kita tapaki agar sampai kepadaNya. Selain cahaya, ada kenangan, ada bayang-bayang, angin, dan kita.

Gin, bayang-bayang ku sertakan. Barangkali kau lupa.

 Masih juga setia
Kau tau, matahari, bintang, dan bulan mulai bosan?

Ah, bayang-bayang
Aku mencintaimu


Harap tak sampai ini! Hormatku senantiasa,
Aku, yang dekat setelah Tuhan


Agustus 2009 Parigimulya

RINDU SI TUA


2009/12/19

Langkahku terhenti, mataku terpicing, ”ah, panasnya…” Inginku ditahan terik. Aku kalah melawan mentari yang senantiasa nyengir. Aku batalkan rencana mengunjungi kebun setelah dzhuhur. Aku tunda hingga senja.

Jam 4.04, dengan santai aku perhatikan sekitaran jalan yang kulewati. Senja memang mempesona. Anak-anak sertakan bola dalam kesenangan mereka di tepian siang, di ujung selatan-barat Kampungku. Para remaja keluyuran, nampaknya seperti biasa. Para orang tua asyik berbincang di halaman rumah. Mesra senja ini hantarkan aku ke kebun yang gersang.

Kutempatkan sepeda bermotoku seperti biasanya. Duduklah aku bersamanya. Menikmati kretek yang ku siapkan. Banyak yang kami bincangkan. Sesekali diselangi tawa, meskipun banyak keluhkesah atas soalan kehidupan. Seperti biasa juga, obrolan tak terarah. Apa yang teringat langsung diungkapkan. Khas bincang perkampungan!

Sambil menikmati terang senja yang mulai merayu, semilir membawa ingatan ke sebuah cerita. Sementara si Aki berceloteh, aku melayang dalam kisah yang sempat kurekam. Parigi. Sebuah parit yang dialiri air dari sumber yang subur. Kini menjadi nama sebuah kampung. Aku diasuhnya. Dan kini memikirkannya, mencoba mengengeng masa silam yang tak pernah kualami dan membayangkan hari kemudian. Kini gersang. Mudah dibayangkan, kata ”gersang” di suatu perkampungan menceritakan hilangnya pepohonan, keringnya sumber air, dan seabreg sebab serta akibatnya.

Lamunanku dihentikan oleh curahan rasa si Aki yang terdengar seperti keluh pilu, ”sejak pagi pun tak ada kicauan burung. Tekukur yang biasanya ramai bersahutan, kalau sore begini, tak ada. Bahkan dari kemarin-kemarin.”

”Tempatnya sudah hilang, Ki. Gara-gara senapan juga”, tanggapku singkat. Mungkin si Aki tidak peduli sangat dengan tanggapanku. Ia terus saja berkisah tentang kesehariannya dan beberapa pengalamannya yang sering kuikuti dengan tertawa-tawa.

Jam 17.28, obrolan kami akhiri setelah si Aki berbagi nostalgia, mengembara di hamparan kenangan, berkeliling mengitari cerita keseharian, dan dengan merangkak menalar kisah yang mendatang. Ia dongengkan suasan kebun yang rimbun dan kicau bersahutan yang ia rindukan. Menyimak kisah kerinduannya, semilir terasa mesranya. Semilir membawa kembali lamunanku.

Sementara ia ungkapkan kerinduannya ke masa silam, aku telah merasa rindu mengalimnya. ”mungkin, nanti”, desahku kecewa.

26 Oktober 2009 Bandung