8.08.2012

JEDA



Keseharian kita, siang berganit malam, bergati siang lagi dan malam kembali, dan terus demikian, dengan kegiatan harian yang relatif sama. Menjalani kegiatan harian, lelah, tidur, dengan sediki pariasi, kehadiran sesuatu yang menyenangkan dan berbagai persoalan, dan terus berulang.

Terbangun dari tidur, tersadar dari khayalan, tiba-tiba kita dalam kenyataan yang lain lagi. Kita berada di suatu kenyataan yang memungkinkan terciptanya hubungan-hubungan dengan teman, sahabat, kerabat, keluarga, atau orang-orang yang baru kita kenal. Dan ini lah kenyataan yang membuat kita bosan, kecewa, cemas, gelisah, takut, bingung, putusasa, dan sesal, dsb.

Aku kira, memang tidak satu maklhuk pun yang secara sadar ingin berada dalam kesusahan—diantaranya merasakan apa yang tersebut di atas. Dapat dipastikan bahwa setiap gerak kita selalu merujuk pada harapan kita untuk bahagia, menikmati hidup seperti dongeng-dongeng dan berupaya menciptakan suasana seperti surga. Sehingga perasaan susah dianggap sebagai hal yang mebuat kita murung. Tetapi percayalah bahwa perasaan-perasaan yang sebagian disebut di atas akan selalu menyempatkan diri hinggap pada setiap yang berperasaan dan berpikiran, kapan pun dan di mana pun.

Kebanyakan orang di antara kita, bahkan siapapun—termasuk aku—seringkali ingin mengusir, menapikan, bahkan membinasakan perasaan-perasaan semacam itu. Padahal,“tidak satu pun keber-ada-an di ada-kan dan meng-ada tanpa hikmah”, tak terkecuali keber-ada-an perasaan tersebut. Bukankah seluruh yang diciptakan Tuhan Yang Mahaesa itu bermanfaat bagi siapa saja yang tekun melakukan tafakur?

Jika setiap keber-ada-an itu disertai atau memiliki hikmah, lalu bagaimana dengan bosan, kecewa, cemas, gelisah, takut, bingung, putusasa, dan sesal, dsb?

Upaya menjawab pertanyaan itu dapat kita mulai dengan mencoba mengetahui, mengerti, dan memahami sebab munculnya perasaan tersebut. Untuk itu kita harus melakukan renungan terhadap sikap dan perilaku kita sendiri dalam menjalani kehidupan; bagaimana kita menyapa lingkungan dan memperlakukannya, bagaimana kita menanggapi respons-respon dari lingkungan terhadap kita; mengapa kita kecewa ketika dibohongi? Pantaskah kita merasa kecewa karenanya?

Pengetahuan terhadap sebab keber-ada-an sesuatu sangat membantu kita untuk mengungkap dan menyelesaikan apa yang dianggap sebagai masalah. Jawaban atas soalan ‘mengapa kita kecewa ketika dibohongi?’ dan ‘pantaskah kita merasa kecewa karenanya?’akan menjadi petujuk utama dalam upaya menjawab ‘apa hikmah dari bosan, kecewa, cemas, takut, bingung, putusasa, dan sesal, dsb, yang kita rasakan?’

Aku boleh menganggap bahwa perasaan-perasaan tersebut sebagai jeda. Jeda yang disediakan Tuhan agar kita berkenan sejejnak saja berhenti dari rangkaian acara kehidupan yang kita susun dan jalani untuk mengingat yang telah kita jalani dan kita capai; jeda agar kita kita berhente sejenak untuk mengerti dan memahami kita di masa silam dan kita di masa kini, dan apa yang sebaiknya kita harapkan di masa mendatang serta melakukan perencanaan demi pencapaiannya.

Aku boleh menikmati bosan, kecewa, cemas, gelisah, takut, bingung, putusasa, dan sesal, dsb, yang tengah kurasakan sebagai upaya dalam mencapai pengetahuan, pengertian, dan pemahaman tentangnya. Jika perasaan itu disertai hikmah, maka aku tidak ingin kehilangan kesempatan nikmat yang Tuhan sediakan. Segara perasaan yang ragam yang Tuhan ada-kan, hingga sebagian banyaknya tidak dapat diungkapkan dengan kata, tentu akan lebih berarti jika menikmati untuk mensyukurinya. Hanya dengan begitu lah kita akan sanggup menggapai ketenangan dan merancang perjalanan yang menuju bahagia. Karena jika “hanya mengeluhkannya akan menghalangi diri dari cahaya”.

Aku kira, Naik dan turunnya kualitas diri diawali dengan ke-bingung-an, ke-gelisah-an, ke-khawatir-an, dan ke-putusasa-an, dsb. Sebelum naik atau turun ke suatu tahap, diri akan mengalami transisi. (Di sini aku anggap sama transisi dengan jeda). Di masa transisi lah kesempatan yang paling penting untuk menjawab: apakah kita hendak turun atau naik?

20 September 2011



2 komentar:

  1. ini teh tulisan baru? 20 sept 2012 mah belom sampai, paragrap terakhirnya kenal banget nih :D

    BalasHapus