Keseharian
kita, siang berganit malam, bergati siang lagi dan malam kembali, dan terus
demikian, dengan kegiatan harian yang relatif sama. Menjalani kegiatan harian,
lelah, tidur, dengan sediki pariasi, kehadiran sesuatu yang menyenangkan dan
berbagai persoalan, dan terus berulang.
Terbangun dari
tidur, tersadar dari khayalan, tiba-tiba kita dalam kenyataan yang lain lagi. Kita
berada di suatu kenyataan yang memungkinkan terciptanya hubungan-hubungan
dengan teman, sahabat, kerabat, keluarga, atau orang-orang yang baru kita
kenal. Dan ini lah kenyataan yang membuat kita bosan, kecewa, cemas, gelisah, takut,
bingung, putusasa, dan sesal, dsb.
Aku kira,
memang tidak satu maklhuk pun yang secara sadar ingin berada dalam
kesusahan—diantaranya merasakan apa yang tersebut di atas. Dapat dipastikan
bahwa setiap gerak kita selalu merujuk pada harapan kita untuk bahagia,
menikmati hidup seperti dongeng-dongeng dan berupaya menciptakan suasana
seperti surga. Sehingga perasaan susah dianggap sebagai hal yang mebuat kita
murung. Tetapi percayalah bahwa perasaan-perasaan yang sebagian disebut di atas
akan selalu menyempatkan diri hinggap pada setiap yang berperasaan dan
berpikiran, kapan pun dan di mana pun.
Kebanyakan
orang di antara kita, bahkan siapapun—termasuk aku—seringkali ingin mengusir,
menapikan, bahkan membinasakan perasaan-perasaan semacam itu. Padahal,“tidak
satu pun keber-ada-an di ada-kan dan meng-ada tanpa hikmah”, tak terkecuali
keber-ada-an perasaan tersebut. Bukankah seluruh yang diciptakan Tuhan Yang
Mahaesa itu bermanfaat bagi siapa saja yang tekun melakukan tafakur?
Jika setiap
keber-ada-an itu disertai atau memiliki hikmah, lalu bagaimana dengan bosan,
kecewa, cemas, gelisah, takut, bingung, putusasa, dan sesal, dsb?
Upaya menjawab
pertanyaan itu dapat kita mulai dengan mencoba mengetahui, mengerti, dan
memahami sebab munculnya perasaan tersebut. Untuk itu kita harus melakukan
renungan terhadap sikap dan perilaku kita sendiri dalam menjalani kehidupan; bagaimana kita menyapa lingkungan dan
memperlakukannya, bagaimana kita menanggapi respons-respon dari lingkungan terhadap kita; mengapa kita kecewa ketika dibohongi? Pantaskah kita
merasa kecewa karenanya?
Pengetahuan
terhadap sebab keber-ada-an sesuatu sangat membantu kita untuk mengungkap dan
menyelesaikan apa yang dianggap sebagai masalah. Jawaban atas soalan ‘mengapa
kita kecewa ketika dibohongi?’ dan ‘pantaskah kita merasa kecewa karenanya?’akan
menjadi petujuk utama dalam upaya menjawab ‘apa hikmah dari bosan, kecewa,
cemas, takut, bingung, putusasa, dan sesal, dsb, yang kita rasakan?’
Aku boleh
menganggap bahwa perasaan-perasaan tersebut sebagai jeda. Jeda yang disediakan Tuhan
agar kita berkenan sejejnak saja berhenti dari rangkaian acara kehidupan yang
kita susun dan jalani untuk mengingat yang telah kita jalani dan kita capai;
jeda agar kita kita berhente sejenak untuk mengerti dan memahami kita di masa
silam dan kita di masa kini, dan apa yang sebaiknya kita harapkan di masa
mendatang serta melakukan perencanaan demi pencapaiannya.
Aku boleh
menikmati bosan, kecewa, cemas, gelisah, takut, bingung, putusasa, dan sesal,
dsb, yang tengah kurasakan sebagai upaya dalam mencapai pengetahuan,
pengertian, dan pemahaman tentangnya. Jika perasaan itu disertai hikmah, maka
aku tidak ingin kehilangan kesempatan nikmat yang Tuhan sediakan. Segara
perasaan yang ragam yang Tuhan ada-kan, hingga sebagian banyaknya tidak dapat
diungkapkan dengan kata, tentu akan lebih berarti jika menikmati untuk
mensyukurinya. Hanya dengan begitu lah kita akan sanggup menggapai ketenangan
dan merancang perjalanan yang menuju bahagia. Karena jika “hanya mengeluhkannya
akan menghalangi diri dari cahaya”.
Aku kira, Naik
dan turunnya kualitas diri diawali dengan ke-bingung-an, ke-gelisah-an,
ke-khawatir-an, dan ke-putusasa-an, dsb. Sebelum naik atau turun ke suatu tahap,
diri akan mengalami transisi. (Di sini aku anggap sama transisi dengan
jeda). Di masa transisi lah kesempatan yang
paling penting untuk menjawab: apakah kita hendak turun atau naik?
20 September 2011
ini teh tulisan baru? 20 sept 2012 mah belom sampai, paragrap terakhirnya kenal banget nih :D
BalasHapussalah ketik heuheu...
BalasHapus