8.06.2012

KAMPUNG INDONESIA

Indonesia terlanjur di kenal sebagai negara agraris dan maritim. Kesuburan tanahnya, kemakmuran airnya, kearifan warganya, serta keluhuran falsafahnya (Pancasila) cukup menjadi alasan untuk tidak merasa aneh kalau para tani dan nelayan berkehidupan sejahtera. Kesejahteraan mereka dapat dijadikan jaminan bagi Indonesia untuk disebut sebagai Negara Kesejahteraan!

Temanku, mahasiswa Ilmu Kesejahteraan Sosial di Bandung, ''kalau laut di Kepri (Kepulauan Riau) dikelola dengan sungguh-sungguh dan jujur, anak Indonesia tidak usah pusing memikirkan biaya pendidikan anak-anaknya.'' Aku tidak terlalu mengerti tentang laut dan nelayan. Jadi, aku cuma bergumam, ''hmmm...mungkin.'' Ya, mungkin benar yang dikatakannya, toh dia putra sulung nelayan Anambas.

Obrolanku suatu siang dengan dua dosen dan tiga mahasiswa, di depan Jurusan Ilmu Kesejahteraan Sosial di Universitas Pasundan, tentang pedesaan. Pemerintah tengah mencatat Indek Daerah Tertinggal (IDT), dan menggarap porjek pembangunan masyarakat pedesaan. ''Beberapa tahun projek itu digarap dan beberapa IDT sudah menikmatinya. Tapi yang dinikmati bukan kesejahteraan masyarakat, sebagaimana tujuan program tersebut. Saya melihatnya sebagai bagian dari upaya melepaskan tanggungjawab Pemerintah saja.''

Kawanku, orang Tasikmalaya, mengajukan pertanyaan kepada kami, ''kita tau alasan mengapa negara ini dikenal sebagai negara agraris, lalu mengapa para tani mengeluhkan pertanian mereka, para sarjana pun enggan pulang ke kampung halaman, termasuk sarjana pertanian?''

Pertanyaan itu langsung disambut oleh Prof. Rusam, ''sejak sekolah dasar, sejak kecil kita tidak diakrabkan dengan lingkungan di mana ia lahir dan tinggal. Sebagian banyak anak petani yang kuliah tidak mengerti bagaimana benih padi dapat menyekolahkan mereka. Beliau balik bertanya, ''di sekolah mana kalian belajar memahami mudah dan susahnya menanam, memelihara, dan memanen padi?''

Di lain waktu, aku juga pernah berbincang tentang modal sosial dengan Dr. Huraerah di kantor Jurusan Ilmu Kesejahteraan Sosial di Universitas Pasundan. ''Konesp pembangunan modal sosial sedang digandrungi para pelaku pemberdayaan dan peneliti sosial. Itu merupakan konsep pembangunan masyarakat yang menutamakan ikatan sosial suatu masyarakat dengan dasar kesaling-percayaan, norma-norma....''

Lama kami membicarakan itu, dan kufahami bahwa kita memang harus mengenal asal kita dan berbagai budaya yang tengah hidup lama di melingkungi kita. Toh masalah pengemis, pengamen, gelandangan di kota-kota berasal dari daerah, dari kampung-kampung, yang pengetahuan dan ilmunya pas-pasan. Sudah untung sekolah sampai SLTA, saking mahalnya biaya sekolah yang harus ditanggung!

Kawanku, orang Anambas, bernostalgia. Kami berdua menikmati kopi dan goreng tempe di pojok pasar tradisional di Kota Bandung, yang kumuh tapi tetap rame kengunjung. ''Benar kata Pak Rusman, sejak kecil saya telah diasingkan dari negeri sendiri. Tak pernah saya dengar guru menerangkan tentang nelayan. Saya baru menyadari setelah kuliah bahwa nelayan seperti Bapak saya patut dihormati. Mereka memberi arti penting laut bagi negara.''

''Ah, itu perasaan saja...'' timpalku.

''Gak'' balasnya, memotong tanggapanku. ''Guruku menceritakan tentang tokoh-tokoh revolusi di dunia, tentang perang duni II, tentang kemajuan bangsa lain, dan perjuang dan perjuangan bangsa kita. Tapi sejak SD, tidak diterangkan tentang nelayan, tentang resiko ketika menangkap ikan...apalagi tentang peran nelayan yang memberi arti kayanya laut kita.

''Lalu kudunya bagaimana?''

''Ya...setidaknya...setidaknya beri mereka kapal penangkap ikan dan perlengkapannya yang canggih, seperti Tailand, misalnya, yang mencuri ikan di perairan Indonesia. Toh, hasil tangkapan nelayan kita pun tidak akan kemana-mana. Lagi pula, kesejahteraan masyarakat nelayan perbatasan, seperti di Kepri, saya rasa cukup menjami keamanan perbatasan. Ini malah ribut rebutan perbatasan....''

Aku benar-benar tidak mengerti canggih tak cangihnya. Aku diam saja dan malah jadi melamun tentang Kampungku, masyarakat tani di sana yang mengeluhkan hasil panen mereka. Harga pupuk dan obat pembasmi hama mahal, harga jual padi murah tak sebanding dengang harga beras.Llebih payah lagi disaingkan dengan beras impor yang murah meriah. Mengapa pula harus impor, bukankah Indonesia itu negara yang indah permai dan subur makmur!

''Saya kira, nasib petani pun tidak cukup beruntung, seperti nelayan. Kita tidak sedang bicara keseluruhan tani dan nelayan. Tapi sebagian besarnya memang menyedihkan. Aturannya daerah lumbung padi, malah dimerihkan oleh pabrik-pabrik, aturannya daerah resapaan air, malah ditumbuhi vila-vila....''

Dia menabahi keluhanku, ''aturanya balik kampung ngembangin pertanian, malah nangkring di kota, ribut masuk pabrik.'' Sambil tertama kecil dia nyerocos lagi, ''tapi...emang jadi tani itu kotor, jadi nelayan panas-panasan....''

Jam di henpon menunjukkan 03.52. Kali ini aku lebih asyik menyimak ocehan kawanku yang sedang menam benih semangat membangun kampung nelayannya. Semntara ia masih asyik berpikir dalam lamunan, aku sudah lelah, ''ah, sudahlah, atur-atur saja aturannya. Yang harus kita ingat, persoalannya tidak hanya itu. Kalau tidak kita, semoga anak kita bisa menyatakkan lamunan kita...pulang.''


November 2011 Bandung

Tidak ada komentar:

Posting Komentar