2010/05/29
Rasanya, belum lama kami bincangkan
tentang kampung, agama, tradisi kampung kami yang sudah hilang, tentang MI….
“sekarang sedang mendalami sufi. Dekat, di Kabupaten Guru kami. Mahir tafsir…
Sekalian, ini, mau ngajak belajar. Di kampung ini saya sendiri yang kesana.
Kalau berdua, kan, ada teman perjalanan.” Rupanya, itu ajakan ia yang terakhir,
untuk mendalami agama bersama.
Sayangnya, aku menjawab “sebagai
murid Kesejahteraan Sosial, tentu tugas utama saya mengamalkan keilmuan saya.
Senantiasa mencari jalan agar masyarakat kampun ini tidak terlena persoalkan
uang untuk membeli makanan sahur atau berbuka puasa. Itu tidak soal, sebab di
sini masih ada MI. itu yang akan kita garap bersama.”
Sampai jelang subuh kami berbincang.
“kalau kamu sudah santai, nanti, kita akan urus MI….”
Asep Muzib, saudaraku, tiba-tiba
saya murung, sekarang. Bapak-bapak kita berjalan beriringan, mengapa aku masih
di sini, sementara kamu sudah ke sana duluan? Siapa di sampingku nanti saatnya
mengurusi ini? Bukankah di panen depan kamu akan menikah? Hhhh…tapi
tenang-tenang saja, kamu sudah mapaikan harapan-harapan kamu tentang kampung
dan anak-anak nanti. Itu do’o.meskipin. sungguh, saya belum faham tentang
takdir, seperti yang sempat kamu terangkan. Padahal saya masih butuh kamu untuk
belajar.
29 Mei 2010. Pagi ini, kabar yang
kudengar menggiring angan ke masa sislam. Tentang cita-cita, tentang harapan
kami, tentang ide kami yang sama. Wafatmu pun kudengar ketika rembulan malah
betah dengan cerah pagi yang masih berembun. Bahagialah kamu!, …
29 Mei 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar