8.05.2012

RINDU SI TUA


2009/12/19

Langkahku terhenti, mataku terpicing, ”ah, panasnya…” Inginku ditahan terik. Aku kalah melawan mentari yang senantiasa nyengir. Aku batalkan rencana mengunjungi kebun setelah dzhuhur. Aku tunda hingga senja.

Jam 4.04, dengan santai aku perhatikan sekitaran jalan yang kulewati. Senja memang mempesona. Anak-anak sertakan bola dalam kesenangan mereka di tepian siang, di ujung selatan-barat Kampungku. Para remaja keluyuran, nampaknya seperti biasa. Para orang tua asyik berbincang di halaman rumah. Mesra senja ini hantarkan aku ke kebun yang gersang.

Kutempatkan sepeda bermotoku seperti biasanya. Duduklah aku bersamanya. Menikmati kretek yang ku siapkan. Banyak yang kami bincangkan. Sesekali diselangi tawa, meskipun banyak keluhkesah atas soalan kehidupan. Seperti biasa juga, obrolan tak terarah. Apa yang teringat langsung diungkapkan. Khas bincang perkampungan!

Sambil menikmati terang senja yang mulai merayu, semilir membawa ingatan ke sebuah cerita. Sementara si Aki berceloteh, aku melayang dalam kisah yang sempat kurekam. Parigi. Sebuah parit yang dialiri air dari sumber yang subur. Kini menjadi nama sebuah kampung. Aku diasuhnya. Dan kini memikirkannya, mencoba mengengeng masa silam yang tak pernah kualami dan membayangkan hari kemudian. Kini gersang. Mudah dibayangkan, kata ”gersang” di suatu perkampungan menceritakan hilangnya pepohonan, keringnya sumber air, dan seabreg sebab serta akibatnya.

Lamunanku dihentikan oleh curahan rasa si Aki yang terdengar seperti keluh pilu, ”sejak pagi pun tak ada kicauan burung. Tekukur yang biasanya ramai bersahutan, kalau sore begini, tak ada. Bahkan dari kemarin-kemarin.”

”Tempatnya sudah hilang, Ki. Gara-gara senapan juga”, tanggapku singkat. Mungkin si Aki tidak peduli sangat dengan tanggapanku. Ia terus saja berkisah tentang kesehariannya dan beberapa pengalamannya yang sering kuikuti dengan tertawa-tawa.

Jam 17.28, obrolan kami akhiri setelah si Aki berbagi nostalgia, mengembara di hamparan kenangan, berkeliling mengitari cerita keseharian, dan dengan merangkak menalar kisah yang mendatang. Ia dongengkan suasan kebun yang rimbun dan kicau bersahutan yang ia rindukan. Menyimak kisah kerinduannya, semilir terasa mesranya. Semilir membawa kembali lamunanku.

Sementara ia ungkapkan kerinduannya ke masa silam, aku telah merasa rindu mengalimnya. ”mungkin, nanti”, desahku kecewa.

26 Oktober 2009 Bandung

4 komentar:

  1. wahahahaaaa... siapa yang suka sandang senapan? dia termasuk tersangka, membuat si Aki murung merindu masa silam :))

    BalasHapus
    Balasan
    1. yee..aku tu pake aturan
      tnang aj..dijamin ga bakal punah
      ga tau deh kalo yg laen :p

      Hapus
  2. eh siapa yg nuduh situu? wahahahaaaa
    tersinggung niyeeee :))

    BalasHapus
    Balasan
    1. heuheu...tu menyinggung smua pnembak jetu :p

      Hapus