2009/12/19
Langkahku terhenti, mataku
terpicing, ”ah, panasnya…” Inginku ditahan terik. Aku kalah melawan mentari
yang senantiasa nyengir. Aku batalkan rencana mengunjungi kebun setelah dzhuhur.
Aku tunda hingga senja.
Jam 4.04, dengan santai
aku perhatikan sekitaran jalan yang kulewati. Senja memang mempesona. Anak-anak
sertakan bola dalam kesenangan mereka di tepian siang, di ujung selatan-barat
Kampungku. Para remaja keluyuran, nampaknya seperti biasa. Para orang tua asyik
berbincang di halaman rumah. Mesra senja ini hantarkan aku ke kebun yang
gersang.
Kutempatkan sepeda bermotoku seperti
biasanya. Duduklah aku bersamanya. Menikmati kretek yang ku siapkan. Banyak
yang kami bincangkan. Sesekali diselangi tawa, meskipun banyak keluhkesah atas
soalan kehidupan. Seperti biasa juga, obrolan tak terarah. Apa yang teringat
langsung diungkapkan. Khas bincang perkampungan!
Sambil menikmati terang senja yang
mulai merayu, semilir membawa ingatan ke sebuah cerita. Sementara si Aki
berceloteh, aku melayang dalam kisah yang sempat kurekam. Parigi. Sebuah
parit yang dialiri air dari sumber yang subur. Kini menjadi nama sebuah
kampung. Aku diasuhnya. Dan kini memikirkannya, mencoba mengengeng masa silam yang tak pernah kualami dan membayangkan hari kemudian. Kini gersang. Mudah dibayangkan, kata ”gersang”
di suatu perkampungan menceritakan hilangnya pepohonan, keringnya sumber air,
dan seabreg sebab serta akibatnya.
Lamunanku dihentikan oleh curahan
rasa si Aki yang terdengar seperti keluh pilu, ”sejak pagi pun tak ada kicauan
burung. Tekukur yang biasanya ramai bersahutan, kalau sore begini, tak ada.
Bahkan dari kemarin-kemarin.”
”Tempatnya sudah hilang, Ki.
Gara-gara senapan juga”, tanggapku singkat. Mungkin si Aki tidak peduli sangat
dengan tanggapanku. Ia terus saja berkisah tentang kesehariannya dan beberapa
pengalamannya yang sering kuikuti dengan tertawa-tawa.
Jam 17.28, obrolan kami akhiri
setelah si Aki berbagi nostalgia, mengembara di hamparan kenangan,
berkeliling mengitari cerita keseharian, dan dengan merangkak menalar kisah
yang mendatang. Ia dongengkan suasan kebun yang rimbun dan kicau bersahutan
yang ia rindukan. Menyimak kisah kerinduannya, semilir terasa mesranya. Semilir
membawa kembali lamunanku.
Sementara ia ungkapkan kerinduannya
ke masa silam, aku telah merasa rindu mengalimnya. ”mungkin, nanti…”, desahku kecewa.
26 Oktober 2009 Bandung
wahahahaaaa... siapa yang suka sandang senapan? dia termasuk tersangka, membuat si Aki murung merindu masa silam :))
BalasHapusyee..aku tu pake aturan
Hapustnang aj..dijamin ga bakal punah
ga tau deh kalo yg laen :p
eh siapa yg nuduh situu? wahahahaaaa
BalasHapustersinggung niyeeee :))
heuheu...tu menyinggung smua pnembak jetu :p
Hapus