2010/05/22
Kuhormati,
kau, Angin.
Ini suratku
yang kesekian. Dan kau dengan sabar memperhatikan. Terimalah ungkapan kasihku
lewat tulisan ini. Terimakasih, perhatianmu, kusyukuri.
Kini aku
sedang seperti biasanya kau saksikan. Kembang yang kusanyang telah mekar. Tanpa
purnama pun ia semerbak. Itu berkat keikhlasanmu dalam mengajarinya. Aku pasti
itu. Belaian kasihmu membawa pengertian sangat tinggi dan mulia. Hingga dalam
tidur pun kau bersamaku.
Mungkin
jelas bagimu mengapa aku sangat sayang dan kasih. Kutegaskan, diamnya itu
pesonanya. Ikhlasnya menerima polesan Tuhan itu kharismanya. Aku bertanya
kepadanya, kini,
adakah ia hendak bersolek? Hahaha…mungkin kau pun tak memperhatikannya, angin.
Ah…dia, betapa aku sayang dan kasih kepadanya.
Aku masih
mengingatnya. Tempo hari kau mengajarinya. “sempurna” seruku. Dengan mudah ia
mengerti. Penjelasan yang kau sampaikan sungguh sederhana. Kemudian ia tak
pernah beranjak dari tempatnya. Tak bertingkah untuk sekedar meraih perhatian.
Hm…dan…itulah pesonanya. Ah, angin, betapa aku sayang dan kasih kepadanya
dengan sangat.
Angin! Suatu
senja aku gelisah. Matahari tak juga syahdu. Entahlah, ia Nampak pongah. Dan
kembangku layu saja. Kuperhatikan lekat-lekat wajahnya. Ku ciumi ia. Dan dengan
lirih sambil tersenyum, “kukabarkan, untuk mu aku
senantiasa”. Aku ingin menangis sebab terharu. Ada juga khawatir. Gelisahku
bertambah. Aku sayang dan kasih kepadanya, angin. Syukurku tiba-tiba, entah
kusadari entah tidak, rona bahagia terpancar pada wajahnya. “Nampaknya ia
memang baik saja”, gumamku. Dan aku menangis.
Angin! Kau
pun menyangka dan aku iyakan sangkaanmu. Sebab asaku memaksa jujur, betapa aku
mencintainya. Aku pun menyangkanya, angin. Dan memang adanya. Diamnya itu
pesona dan keikhlasanya menerima polesan Tuhan itu kharismanya. Itu sebabnya,
angin, aku sangat sayang dan kasih kepadanya. Tapi, angin, aku mengagumi ia.
Kini aku seolah berguru. Kuharap kau pun menyanginya.
Sahabatmu, angin yang kuhormati.
17 April 2009 Bandung
Tidak ada komentar:
Posting Komentar