2011/06/15
Entah apa yang disebut zaman. Tapi
kita akrab dengan kata zaman, seperti keluh Sukir kepada istrinya, ”zaman
semakin susah….”
Di luar gerimis sejak sebelum subuh.
Mendung semalam sembunyikan rembulan dari indahnya. Pagini ini, ”sudah jam delapan,
kan, Bu?” Sukir mengeluhkan matahari yang belum juga muncul. ”Ini
pancaroba. Orang kecil makin susah. Cari duit belum tentu dapat, kehujanan
sudah pasti basah”, masih keluh Sukir.
Dalam gerimis, Sukir memaksakan diri
pergi ke sawah. Ia merasa perlu menengkonya, kalau-kalau gerimis berkepanjangan
ini membajiri sawah dan tenggelamkan benih padi yang baru lima hari ia tanam.
Musim kemarin-kemarin, sawah
mengandalkan hujan. ”Musim sekarang ini hujan jadi petaka. Keong Emas
gentayangan…” Sukir ngoceh berggantian dengan ocehan kawan lama di saung
sawahnya. Banyak yang mereka omongkan. Keluhan, dan sesekali diselang
nostalgia, dan tertawa-tawa berdua.
Pulang ke rumah, baru saja duduk,
Sukir harus mendengar ”Susu habis, Pak. Beras, paling cukup dua kali lagi…”
dari istrinya yang tersayang. Sukir tak menjawab, karena memang tidak ada kata
yang dapat mewakili kegelisaha, kesedihan, ketakberdayaannya, dan tentu dengan seabreg yang
ia khawatirkan.
Keluah sang istri terdengar lagi
ketika mereka berdampingan di pembaringan. Tanpa menanggapi keluh istrinya,
”Bangunkan Bapak jam lima. Jam tujuh Pak Kaslan ngajak ke Kabupaten. Ada job
katanya.”
”Pak, akhir-akhir ini perasaan Ibu
ga enak terus. Tadi siang Ibu ngimpi Bapa mencium kening Ibu sambil
komat-kamit. Tapi Ibu ngerasa sedih. Kenapa, ya, Pak?”
”Ibu sedih karena itu cuma ngimpi.
Maunya kan beneran….”, rayu Sukir kepada istrinya sambil
manja-manja.
”Bapak, kan harus bangun jam
lima…cape nanti”
”tenang saja….” tukas Sukir sambil
bersiap menyambut nikmat yang lena.
Jam lima Sukir sudah terjaga. Jam
enam kerjaan rumahnya sudah kelar. Seperti biasa, selepas membersihkan rumah
dan halaman, sambil menunggu istrinya kelar masak dan menghidangkan makan,
Sukir duduk di amben di bawah pohon mangga warisan neneknya.
Tembakau dan teh manis jadi teman
setia seumur pernikahannya bila Sukir duduk di amben itu. Istrinya yang setia
dalam duka dan suka, yang selalu menghudangkan teh,menjadi kebanggaan
satu-satunya bagi Sukir.
Selepas sarapan, Sukir pamit untuk
pergi ke Kabupaten. ”hati-hati, Pak. Kalo udah kelar cepet pulang, ya.
Belakangan si Jalu manja bener….”
Jalan sudah ramai. Hilir mudik
kendaraan bermotor, sepeda orang-orang ke sawah, dan anak-anak sekolahan yang
berdandan rapi dan wangi, cantik-cantik dan ganteng-ganteng dengan seragam
sekolahan.
Pagi ini memang cerah, namun sukir
seolah sedang melayang entah kemana. Ingin ia segera punya penghasilan tetap
agar dapat mengantar anaknya ke Rumah Sakit agar Sembuh dan bersekolah, seperti
anak-anak yang ia lihat sekarang.
Keraguan menyeruak diantara langkah
Sukir. Pelan-pelan, seolah Sukir mengamati setiap incin jalan yang akan ia
injak. Ia tak yakin untuk tetap pergi ke Kabupaten. Namun ia tetap memaksakan
diri. Dengan tak yakin ia menuju Perempatan yang tak jauh dari rumahnya. Di
sana seorang kawan sedang menunggunya.
Kaslan, orang yang menunggu Sukir di
Perempatan, sudah habiskan setengah gelas kopi dan dua surabi. Rokok kretek ia
hisap dengan nikmat pagi yang sejuk oleh sisa-sisa embun, kicauan riang, tanpa
angin semilir. Kaslan melambaikan tangannya yang tengah menjepit kretek kepada
sukir. Lambaian itu tampak akrab tetapi aneh.
Sukir tersenyum, dan bergeas. Dia
harap kawannya itu berkata benar bahwa ada pekerjaan di Kabupaten. Ia ingin
sekali membawa anaknya yang memang sejak lama sakit ke Dokter atau ke Rumahsakit.
Tapi semangatnya memuncak ketika ingat bahwa akhir-akhir ini si Bungsu kecil
yang sakit semakin manja.
Dari jalan selatan, di perempatan,
Sukir langsung menyebrang. Kawannya sedang nyeruput kopi, tiba-tiba gelasnya
jatuh, dan beteriak…. Sukir terkapar belumur darah.
Sementara Sukir di bawa ke Rumah
Sakit, seorang pedagang Lontong bergegas ke rumah Sukir untuk memberi tau Istri
Sukir, Aminah, bahwa sukir tertabrak motor dan sedang menuju Rumah Sakit.
Pembawa kabar datang tak lama
setelah Aminah beranjak dari tempat tidur, menenangkan anaknya, si Bungsu.
”Bapakmu nanti bawa uang, kita akan kedokter. Kamu pasti cepat sembuh dan
bermain petak umpet lagi dengan Kakak. Jadi tidurlah dulu, menunggu Bapak
pulang….”
Ia sedang menunggu suaminya pulang,
padahal ia tau kalau suaminya baru saja pergi. Kemudian terdengar suara
memanggil-manggil namanya. Aminah keluar dan medapati Mang Ahmad yang tampak
tergesa-gesa. ”Ada apa, Mang…” Tanya Aminah. Belum selesai Aminah bicara,
tukang Lontong itu nyerocos mengabarkan bahwa Sukir kecelakaan dan di bawa ke
Rumah Sakit.
Mendengar kabar itu, Aminah
tertegun, diam tanpa reaksi. Aminah merasakan Keheningan, kesunyian,
kesendirian, kehampaan. Ia meratapi nasibnya yang getir, kemudian…tak kuat
menanggung duka, tak kuan menanti lebih lama…Aminah mati sebelum suaminya
pulang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar