2011/09/30
Subang Tengah, tiga kilometer ke
Barat sudah Indramayu, daerah dataran antara pegunungan dan pantai, di sanalah
kampungku. Sebuah kampung yang dikitari oleh pesawah. Pencaharian orang
kebanyakan di sini adalah tani, meskipun sebagian banyak dari mereka lebih
tepat dikata sebagai buruh tani. Mungkin sama saja, di mana pun, bahwa
masyarakat tani selalu kurang beruntung, setidaknya harga diri mereka dipandang
di bawah pegai pabrik yang ngontrak. Sebuah pandangan yang menyedihkan, memang!
Kalau kalian sempat mampir kemari di
musim kemarau, kalian akan tau seberapa lebar retakan tanah sawah, rerumputan
yang kering dan yang menyubur, sungai yang meyusut, dan kali yang kering
kerontang. Musim demikan adalah musim paceklik dengan kegelisahan yang membuat
kusut pikiran. Kalian sendiri tau bahwa panas yang terik dan gersang selalu
menguapkan kesabaran, ketenangan, dan keseksamaan, hingga amarah dan birahi
sering kali sanggup menguasai jiwa.
Kemarau, sepengetahuanku, tidak saja
merupakan masalah para tani, tetapi juga menyusahkan para penggembala. Tentang
penggembalaan, di kampungku ada hal yang sempat membuatku menyusun lamunan
tentang para penggembala. Kalau dahulu kita akrab dengan dongeng ‘anak gembala’, di
kampungku tidak ada lagi, melainkan ‘bapak gembala’ atau ‘kakek
gembala’, bahkan ‘ibu dan nenek gembala’. Sapi atau domba yang digembalakan tidak miliknya
saja, ada juga titipan untuk sekalian digembalakannya. Tapi yang lebih menarik,
samapi-samapi aku merasa perlu untuk mencatat begini, adalah sang gembala
Caswan.
Caswan hanya seorang tani dan
gembala. Sejak remaja caswan sudah menggembalakan sapi Pak Anu, yang kemudian
menjadi mertuanya dan mewariskan sapi kepadanya. Ketekunan dan kesabaran dalam
mengerjakan suatu tugas memang selalu berbuah manis, selain memperistri anak
sang majikan, Caswan juga dihadiahi sapi oleh sang tuan. Kepercayaan Pak Anu
kepada Caswan dengan mewariskan sapinya memang tidak keliru. Sapi yang
diurusnya jengkar.
Bayangkan saja, sejak remajanya,
Caswan sudah kuli jadi penggembala. Ia menggembala hingga memiliki cucu. Kalau
beternak sapi pembiak atau sapi potong itu mudah difahami, karena terutama
pasar di Indonesia masih kekurangan pasokan. Tapi Caswan, sebagaimana gembala
lainnya, tidak tampak menjadikan sapi sebagai profesi pokoknya. Aku melihat itu
sekedar iseng, atau sekedar barang simpanan, seperti kita menyimpan emas atau
barang lainnya, yang dalam keadaan mendesak baru akan dijual.
Akhir bulan tujuh 2011, kemarau di
kampungku sedang menujukkan kegagahannya. Rumput segar sulit didapat. Di musim
kemarau, biasanya para gembala harus menempuh tiga sampai empat kilometer untuk
menggembalakan peliharaannya. Kemarau kali ini menyisakan jejak duka bagi
kampungku. Peristiwa mengerikan menimpa gembala, sebuah peristiwa perdana
sepanjang sejarah penggembalaan di kampungku.
Seperti gembala lainnya, pagi-pagi
caswan menggembalakan sapinya di tanah gembalaan Mani’is. Di sana masih tersisa
rumput yang lumayan segar. Hari itu memang sejak pagi udara terasa sangat
gersang. Para gembala berteduh di bawah pohon yang masih rindang. Begitulah
mereka setiap kali menggembala. Dan hari itu, di jelang senja hujan membasahi
tanah gembalaan tanpa menggenangkan air. JIka ingin mendapat air untuk minum
sapinya, para gembala harus menggiring gembalaannya ke perbatasan sungai
Cipicung, di sana terdapat tanah lapang yang berbatasan dengan hutan Haur
Koneng.
Sebentar lagi akan senja. Hujan
sudah reda. Caswan segera menggiring sapinya menuju tanah datar tersebut.
Sebagian tanah datar digenangi air dan becek. Beberapa saat di sana,
Caswan terperangah, kaget, senang riang gembira. Si betina, sapi yang di saying
akhirnya lahiran juga. Caswan mendeketinya bermaksud untuk memindahkan si bayi
sapi menuju tanah yang tidak becek. Kemudian ia mengelus sapi betina, lalu
menggendong si bayi sapi. Tak merasakan khawati dan curiga, Caswan membukuk
meletakan si bayi sapi. Sebelum ia bangkit, Caswan di amuk sapi betina
kesayangannya.
Matahari merangkak pulang. Sebagian
kelelawar sudah keluyuran. Sebagian sapi sudah tiba di kandang, dan
sebagiannnya lagi masih di perjalanan. Kawan Caswan yang penasaran, kembali ke
tanah gembalaan, dan menemukan Caswan terkapar. Bajunya compang-camping,
selangkangan dan dadanya kebiruan, wajahnya memar, dan kepalanya retak, Caswan
tak berdaya bahkan sekedar untuk meng-aduh. Caswan sekarat.
Kawanan gembala membawanya pulang.
Kemudian orang rumah dan tetangga memabawan ke RSUD. Karena RSUD tak sanggup,
rencananya Caswan akan di bawa ke RS di Bandung. Tetapi, “aku tak kuat lagi”
Caswan menghela nafas. Kata terakhirnya “aku di celakai sapiku sendiri”, tak
lama kemudian Caswan mati, ketika orang-orang tengah ramai membincangkan
kedatang Romadhon yang akan segera tiba.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar