8.04.2012

SAPI BETINA

2011/09/30

Subang Tengah, tiga kilometer ke Barat sudah Indramayu, daerah dataran antara pegunungan dan pantai, di sanalah kampungku. Sebuah kampung yang dikitari oleh pesawah. Pencaharian orang kebanyakan di sini adalah tani, meskipun sebagian banyak dari mereka lebih tepat dikata sebagai buruh tani. Mungkin sama saja, di mana pun, bahwa masyarakat tani selalu kurang beruntung, setidaknya harga diri mereka dipandang di bawah pegai pabrik yang ngontrak. Sebuah pandangan yang menyedihkan, memang!


Kalau kalian sempat mampir kemari di musim kemarau, kalian akan tau seberapa lebar retakan tanah sawah, rerumputan yang kering dan yang menyubur, sungai yang meyusut, dan kali yang kering kerontang. Musim demikan adalah musim paceklik dengan kegelisahan yang membuat kusut pikiran. Kalian sendiri tau bahwa panas yang terik dan gersang selalu menguapkan kesabaran, ketenangan, dan keseksamaan, hingga amarah dan birahi sering kali sanggup menguasai jiwa.

Kemarau, sepengetahuanku, tidak saja merupakan masalah para tani, tetapi juga menyusahkan para penggembala. Tentang penggembalaan, di kampungku ada hal yang sempat membuatku menyusun lamunan tentang para penggembala. Kalau dahulu kita akrab dengan dongeng anak gembala, di kampungku tidak ada lagi, melainkan bapak gembala atau kakek gembala’, bahkan ‘ibu dan nenek gembala’. Sapi atau domba yang digembalakan tidak miliknya saja, ada juga titipan untuk sekalian digembalakannya. Tapi yang lebih menarik, samapi-samapi aku merasa perlu untuk mencatat begini, adalah sang gembala Caswan.

Caswan hanya seorang tani dan gembala. Sejak remaja caswan sudah menggembalakan sapi Pak Anu, yang kemudian menjadi mertuanya dan mewariskan sapi kepadanya. Ketekunan dan kesabaran dalam mengerjakan suatu tugas memang selalu berbuah manis, selain memperistri anak sang majikan, Caswan juga dihadiahi sapi oleh sang tuan. Kepercayaan Pak Anu kepada Caswan dengan mewariskan sapinya memang tidak keliru. Sapi yang diurusnya jengkar.

Bayangkan saja, sejak remajanya, Caswan sudah kuli jadi penggembala. Ia menggembala hingga memiliki cucu. Kalau beternak sapi pembiak atau sapi potong itu mudah difahami, karena terutama pasar di Indonesia masih kekurangan pasokan. Tapi Caswan, sebagaimana gembala lainnya, tidak tampak menjadikan sapi sebagai profesi pokoknya. Aku melihat itu sekedar iseng, atau sekedar barang simpanan, seperti kita menyimpan emas atau barang lainnya, yang dalam keadaan mendesak baru akan dijual.

Akhir bulan tujuh 2011, kemarau di kampungku sedang menujukkan kegagahannya. Rumput segar sulit didapat. Di musim kemarau, biasanya para gembala harus menempuh tiga sampai empat kilometer untuk menggembalakan peliharaannya. Kemarau kali ini menyisakan jejak duka bagi kampungku. Peristiwa mengerikan menimpa gembala, sebuah peristiwa perdana sepanjang sejarah penggembalaan di kampungku.

Seperti gembala lainnya, pagi-pagi caswan menggembalakan sapinya di tanah gembalaan Mani’is. Di sana masih tersisa rumput yang lumayan segar. Hari itu memang sejak pagi udara terasa sangat gersang. Para gembala berteduh di bawah pohon yang masih rindang. Begitulah mereka setiap kali menggembala. Dan hari itu, di jelang senja hujan membasahi tanah gembalaan tanpa menggenangkan air. JIka ingin mendapat air untuk minum sapinya, para gembala harus menggiring gembalaannya ke perbatasan sungai Cipicung, di sana terdapat tanah lapang yang berbatasan dengan hutan Haur Koneng.

Sebentar lagi akan senja. Hujan sudah reda. Caswan segera menggiring sapinya menuju tanah datar tersebut.  Sebagian tanah datar digenangi air dan becek. Beberapa saat di sana, Caswan terperangah, kaget, senang riang gembira. Si betina, sapi yang di saying akhirnya lahiran juga. Caswan mendeketinya bermaksud untuk memindahkan si bayi sapi menuju tanah yang tidak becek. Kemudian ia mengelus sapi betina, lalu menggendong si bayi sapi. Tak merasakan khawati dan curiga, Caswan membukuk meletakan si bayi sapi. Sebelum ia bangkit, Caswan di amuk sapi betina kesayangannya.

Matahari merangkak pulang. Sebagian kelelawar sudah keluyuran. Sebagian sapi sudah tiba di kandang, dan sebagiannnya lagi masih di perjalanan. Kawan Caswan yang penasaran, kembali ke tanah gembalaan, dan menemukan Caswan terkapar. Bajunya compang-camping, selangkangan dan dadanya kebiruan, wajahnya memar, dan kepalanya retak, Caswan tak berdaya bahkan sekedar untuk meng-aduh. Caswan sekarat.

Kawanan gembala membawanya pulang. Kemudian orang rumah dan tetangga memabawan ke RSUD. Karena RSUD tak sanggup, rencananya Caswan akan di bawa ke RS di Bandung. Tetapi, “aku tak kuat lagi” Caswan menghela nafas. Kata terakhirnya “aku di celakai sapiku sendiri”, tak lama kemudian Caswan mati, ketika orang-orang tengah ramai membincangkan kedatang Romadhon yang akan segera tiba.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar