6.06.2013

Kepercayaan



“Pe-ng-adil-an.” Hurip mengeja-eja  kata yang baru ia dengar di tivi, berulang kali. Pikirannya melayang-layang, menerawang hingga sampai pada spandunk yang di pajang oleh Press Mahasiswa di muka kampus empat tahun silam, yang kemudian ia eja pula: “pe-m-benar-an.”

Kemudian ia menulis surel singkat yang rada panjang kepada beberapa sahabatnya.


“Kawan, Harapan telah membantu bangkitnya kepercayaan rakyat kepada para pemimpin sejak beberapa saat revolusi 1945. Hingga kini hal itu tak berubah banyak. Tetapi kita disuguhi sajian yang tak menyenangkan.

Belum 30 menit dari berita di tivi, aku langsung menulis ini. Korupsi. Tiba-tiba aku peduli dan merasa perlu mengabarkan lamunanku kepada kalian. Tentang ini masih tentang kepercayaan.

Kepada Polisi dipercayakan, korupsi masih lestari; kepada KPK dipercayakan, korupsi pun tampak menjadi; kepada siapa lagi, kawan? Aku lupa selain dari yang dua itu. Masih kurangkah kepercayaan yang rakyat berikan?!

Tak aku tampik, banyak koruptor yang berhasil dipenjarakan, diwajibkan mengembalikan uang yang mereka korup, dan denda. Tetapi yang aku tahu cuma cukup sampai dipenjarakan. Uangnya? Entah!

Harga bahan pangan pokok tetap naik, dan mustahil turun lagi; bahan bakar minyak dan gas tampak seperti dipermainkan; pendidikan yang disekolahan itu? Aku melihatnya seperti “baprik budak”.

Katanya, di jaman perjuangan, yang namanya penghianat adalah yang lari dari perang. Sekarang kita merdeka, katanya. Penghianatan direka indah. Ah, kawan, masih kurangkah kepercayaan yang rakyat persembahkan.”


Hurip diam beberapa lama. Ia tak sanggup meneruskan keluhannya. Ia baca ulang. Memang surelnya tak ada yang penting. Tetapi ia tetap mengirimkannya. Klik: terkirim..

Laptop mati. Lampu redup. Kopi. Rokok. Rebahlah hurip di sandaran kuri yang mungil. Ia mengulang eja “pe-ng-adil-an…pe-m-benar-an”.  Lirih berbisik, kemudian hening. Ia hanya mengeja dalam hati, “kurangkah kepercayaan yang dipersembahkan….”