12.26.2013

25 Desember 2013

musim berganti
gugur bunga demi kuntum kemudian
hilang untuk berganti
terbit kepada senja lalu malam
berulang
tak terulang
tak terencana
tak terharap
tetap beranjak...

...sirna

Mimpi

Mimpi.

Mengikuti para motivator, "raihlah mimpimu". Maka pertama-tama aku
menyusun suatu impian dengan bahan pilihan yang tersedia dalam benak.
Ya. Benak itu kan perpustakaan jiwa yang didalamnya terdapat ragam
referensi (ingatan). Sebisa mungkin, secermat mungkin, seteliti
mungkin, impian disusun dan terbangunlah dengan indan. "Kelak, aka
akan…, karena itu adalah mimpiku, impianku!".

Beranjak dari beranda kamar, membuka laptop, mengaksarakan impian yang
aku susun beberapa hari. Dua halaman A4 hampir penuh. Sedari awal, aku
sudah sungguh sumringah. Betapa hebatnya aku: tidak hanya menentukan
bagaimana keadaanku seharusnya nanti, tetapi juga telah memilih-milih
jalannya agar sampai padanya dengan selamat.

Kira-kira, cuma perlu dua halaman A4 lagi untuk menyelesaikan
garis-gari pokok sebagai pedoman guna meraih mimpi yang aku susun
berhari-hari. Tapi sial, kopi di cangir sudah habis. Terpaka buat
lagi, sendir. Lebih sialnya lagi, selama membuat kopi, lamunan malah
bermain layang-layang, sembangi masa demi masa, kenangan terkenang.
Karenanya aku memilih mebuka file-file lama.


adakah seorang insan yang mengerti..
apakah arti kehidupan ini…
pernah kucari arti cinta sejati
namun yang kutemui hanyalah mimpi..
suatu mimpi kosong yang tak bertepi
apakah salah hati ini
ingin memiliki sebuah cinta sejati..
apakah arti sebuah persahabatan sejati
apakah itu juga sebuah mimpi..?
jika benar,
apalah arti semua ini.. (1


Puisi itu ditulis Wardhana tahun 2008. Entah apa maksud yang ingin
ditegaskan oleh puisi itu, tapi "yang kutemi hanyalah mimpi"
memunculkan pertanyaan: mengapa tidak ditanyakan "apakah arti sebuah
mimpi sejati". Beberapa saat lamun-melamun, kemudian balik membacai
barisan kalimat perihal impian yang baru setengah kuaksarakan.

Penasaran perihal mimpi dan impian, klik search untuk semua file dalam
disk C, D, E. Beberapa file muncul dengan nama yang mengandung kata
mimpi. Munucl beberapa tulisan yang kuambil dari blog dan tulisan
teman perihal mimpi dan impian. Tapi cuma satu puisi yang berjudu
Mimpi, tanpa kata lain sebelum dan sesudahnya, ditulis Arina ditahun
yang sama.


mimpi
adakalanya suka duka
penat letih
mimpi
melayang jiwaku
enak bersama mainan yang terus beraksi
hinggalah ku terjaga dari lena yang enak (2


Sialnya, "apakah arti sebuah mimpi sejati" malah kujawab "hinggalah
kuterjaga dari lena yang enak". Impian yang kususun, ternyata tak
lebih sejati dari "mainan yang terus beraksi" selama tertidur. Karena
impian hanya kata sifat dari mimpi yang teralami ketika tidur. Diluar
keadaan tidur, mimpi tak pernah terjadi. Maka, sekejap berada dalam
keterjagaan impianpun buyar. Hapus, dan menggantinya dengan ini.

Ada lagi sialnya, "apakah itu juga sebuah mimpi..?", dalam puisi
Wardhana, memantik keisengan merekayasa kalimat, menjadi "apakah ini
juga sebuah mimpi?" Jangan-jangan aku ini sedang dalam keadaan
tertidur, tidur yang lebih lama daripada yang biasanya kita sebut
tidur. Dari kesemerawutan tulisanku yang ini, bodohnya, aku malah
mengakhirnya dengan kalimat: mimpi, ini adalah kenyataan lain dari
kenyataan ini.


Puisi
1. Arti Kehidupan, Joe Wardhana, 12 Juli 2008, Bandung
2. Mimpi, Norsaparina, 11 Agustus 2008, Kuala Lumpur


28 Oktober 2013

Filosofi Cinta

karena cinta melihat maka adalah keindahan
karena cinta mendengar maka adalah kemerduan
karena cinta membaca maka adalah pengertian
karena cinta mendengar maka adalah pemahaman
karena cinta tak buta maka adalah keindahan pengertian
karena cinta tak tuli maka adalah kemerduan pemahaman
karena cinta adalah pengertian dan pemahanan maka adalah penyatuan
demikianlah cinta karena ia adalah mengetahui kurangnya pengetahuan

(
adakah sama yang buta dengan yang baik penglihatanya?
adakah sama yang tuli dengan yang baik pendengaranya?
)

18 November 2013

Latah

gemuruh sungutku
sebut-sebut namamu
n a m a n a m a m u
wakil segala keindahan
ketentraman
kedamaian

5 November 2013

Terajut

ingin kuusir bayang-bayangmu
tetapi semakin syahdu
ingin kubuang hasrat padamu
tetapi semakin rindu

12.23.2013

Gelitik Mimpi

ternyata parah
kemari basah
sebelum tiba malam
datang bawaku tenggelam dalam
mimpi yang asyik
menggelitik
ada terkejut gugup
ketika terjaga kuyup

12.22.2013

Interupsi

sejak kecilku
mana susumu, ibu?
anak sapikah aku?
atau sapi lah bapakku?

sayangku, ibu
siapa sesap ASImu?
bapakku kah?
atau bapak-bapak lah...?

(untuk ibu-ibu sialan
dari anak-anak aburan)

Ibu-ibu, SELAMAT “HARI IBU”

12.18.2013

Disebalik Topeng

mata :
sejenak saja
diam mengeja
kemudian terbaca
pada urat-urat ukirannya
atau pada puing pecahannya

12.17.2013

Mata Cundang

indahku ragu-ragu engkau cumbu
intipmu di balik tirai malu-malu
diam-diam diammu mau
mencuri
menikmati
dalam sembunyi

10.23.2013

Perhatian!

Perihal pagi saja. Aku mengira angin semilir, lembutnya mengusap
pepohonan, rerumputan, burung-burung, dan mereka yang bergegas mencari
nafkah. Sesekali angin agak nakal, mendahuli matahari, ia jatuhkan
butir-butir bening diujung dedaunan. Itu hanya bagian dari sangat
sedikit peristiwa yang darinya akan kita dapati ragam pengetahuan.
Tapi aku akan meneruskan tulisan ini, online, dan mengabaikan hidangan
yang pagi suguhkan.

Betapa pagi selalu hadirkan kemeriahan dan keindahan, nyaris serupa
senja. Bedanya, bagi orang kebanyakkan, pagi selalu menarik untuk
cecerkan semangat; dan senja mengajak untuk kembali mengumpukannya.
Akan disesalkan: pagi sebagai kesempatan menikmati masa antara gelap
dan terang tidak sempat dinikmati oleh lebih banyak lagi orang. Dan
aku diantara orang-orang itu.

Ya, pagi ini saja, misalnya. Aku menikmati secangkir kopi, beberapa
batang kretek, dan tentunya apa-apa yang disajikan "laptop"ku. Aku pun
kehilangan kesempatan menikmati pagi yang sesungguhnya memuat segala
yang disajikan semesta agar segala dari diri segar kembali. Inilah
materi, memiliki candu yang sangat hebat: aku memilih online daripada
memperhatikan apa-apa yang pagi suguhkan disekitaran.

***

mulanya dasar kebutuhan
kemudian di-ada-kan saja
kemudian di-ada-ada-kan
kemudian memaksa ada-nya *

Kukira, setelah nyaris terlupakan, puisi itu tak akan lagi muncul
sebagai mewakili keadaan kini. Ternyata tidak. Ia masih sesuai bagiku
hingga kini: aku masih merasa lebih duduk bercumbun dengan laptopku
dan musik raggae daripada menikmati suasana pagi di taman depan kamar.
Heu…entah seberapa keblingernya aku ini.


*
Puisi : Jerat Materi, 20 Agustus 2008

Usah Risau

Usah beranggapan bahwa "dunia" ini luas, apalagi teramat luas, sebab
ia "tak selebar telapak tangan". Ini bukan guyonan. Bukan tak mungkin
tiba-tiba aku dihadapanmu tanpa rencana akan bertemu; atau sesaat
selepas kita tentukan sama-sama masa untuk bersua, tiba-tiba maut
menjemputku.

Betapa kecewa ketika semua kata yang kita susun untuk mengisi
pertemuan kita, tetapi ketika bertemu, sebelum saling menyapa, kita
sudah tak lagi di dunia atau dunia ini sudah tak ada lagi.

Semua sesuai ukuran, seperti yang sudah, nanti pun tak jauh beda. Ini
kenyataan. Nyatanya, harapan seringkali berujung kekecewaan; dan
hebatnya, kekecewaan malah membuka jalan menuju harapan baru. Sialnya
ketika harap dan kecewa berulang-ulang dalam suasana yang nyaris
serupa.

Setitik Hitam di Kanvas Putih

Ketika aku lagi berkutat perihal pola politik kampus yang dirancang
sebagai miniatur negara—ini hal baru bagiku, mungkin juga bagi senior
dan teman-teman—aku sempatkan menelpon adik angkatku. Ia merengek
manja minta maaf dan memberi saran. Ah dia, dasar manja, berani
memberi saran begitu sambil tertawa-tawa. Kalau dekat, aku jitak dia!
Heuheu.

Dia minta maaf karena minggu depan akan menikah. Artinya mendahuluiku
alias ngarunghal. Dan saran dia, "cepatlah menyusul…." Heuheu…berani
dia beri saran macam begitu. Ini ceritaku dulu, masa semester empat,
kalau tak salah ingat. Aku senang mendengar kabar itu. Mengenai
sarannya, aku tertawa-tawa saja. Saran itu datang tidak pada waktu
yang tepat. Setahun lewat, kuterima kabar dia sudah punya anak.
Artinya…heuheu…aku menjadi Uwa.

Aku tertawa hanya karena suara adik angkatku yang kudengar via
handphone. Padahal, di kampus sedang mumet-mumetnya melakukan
penyesuaian, kesialan menjadi Ketua Hima-IKS tepat dimasa transisi,
masa uji coba.

Di masa itu juga, aku berteman baik dengan perempuan lincah. Dia Ketua
Pers Mahasiswa tingkat Fakultas. Aku menulis sebait puisi, aku
titipkan kepada temanku untuk disampaikan kepadanya. Aku kira dia
mengerti, karena sebelumnya sudah dibicarakan bahwa aku akan menulis
puisi untuk dimuat di majalah yang ia pimpin. Entah masalahnya dimana
samapi-sampai puisiku dianggap untuk dia, bukan untuk dipajang
dimajalah. Pekan berikutnya aku klarifikasi. Sialnya, aku lupa
puisiku, aku hanya menulis di sobekan bungkus rokok (ini kebiasaan
buruk) yang sudah dia buang. Heuheu.

Kejadian serupa demikian sebenarnya bukan yang pertama. Seringkali
kita mengalami hal yang mengejutkan ketika kita mengingat-ingat masa
silam secara seksama. Ketika kita dalam kepelikkan masalah,
diantaranya selalu ada hal yang memicu bangkitnya rasa senang hati.
Meskipun hanya sestitik hitam di gelaran kanvas putih, tetap saja
setitik itu menarik perhatian. Seperti oase, ia adalah setitik
kesejukan dalam hamparan kegersangan; setitik pelita dalam gelap malam
tanpa bulan dan bebintang, dan tanpa lampu-lampu.

Dari itu mulailah aku sok cermat mengamati apa yang kualami secara sok
seksama, mencoba mengamati setiap kejadian secara setimbang:rasa pahit
dan manis mesti sama-sama diperhatikan, seperti menikmati secangkir
kopi hitam. Tapi, untuk hingga saat ini, aku lebih banyak terlena dari
pada mendapatkan maknanya. Itu masih terbilang bagus jika dibanding
dengan tidak sekali pun melakukan.

Kematian

Sedih, duka, sunyi, merasa pudar arti diri adalah beberapa diantara
isi dari kehilangan. Kematian hanya satu di antara banyak hal yang
menjadi sebab hadirnya perasaan kehilangan. Keseluruhannya adalah
wajar.

Bukankah "tiada ada yang abadi" kecuali ke-Abadi-an-Nya?. Dan kematian
pun tak abadi, sebagaimana lahirnya perasaan yang diakibatkanya.

Ia hanya tirai antara kehidupan kini dengan kehidupan nanti. Jika
kehidupan kini adalah sekejap, maka kematian tak akan lebih lama dari
itu. Sekejap saja, dibangkitan kembali di kehidupan yang segalanya
berbeda.

Bukankah semua itu wajar, sesuai ketentuaNya? yang tak wajar adalah
menolak apa pun yang sudah terjadi. Akan percuma semuanya.

Sejak penciptaan dimulakan, yang tidak pernah berubah adalah Ubah,
dengan kemapuannya merubah hingga segalanya berubah dalam perubahan
yang berubah-ubah. Tak ada yang pasti kecuali ke-Pasti-an-Nya yang Nya
pastikan.

ke-bersatu-an, ke-terpisah-an, kelahiran dan kemtian hanya bagian dari
keseluruhan yang disebut hidup, hidupnya kehidupan.

10.14.2013

Setitikku

aku faham, sayang
pelangi akan pudar
dan aku terlenyapkan

aku faham, kekasih
musim pun berganti
dan aku terlupakan

aku faham...

10.08.2013

Hasrat Cinta



kuping cinta selalu berhasrat mendengar kemerduannya
mata cinta selalu berhasrat memandang keindahannya
hidung cinta selalu berhasrat mencium keharumannya
lidah cinta selalu berhasrat mencecap kenikmatannya
kulit cinta selalu berhasrat merasa kelembutannya

10.06.2013

Jika Suatu Nanti

Jengahlah kau jika jengah mengasihi
Bosanlah kau jika bosan menyayangi
Lelahlah kau jika lelalah mencitai
Tapi jangan lah engkau tak kembali
Mengasihi menyayangi dan mencintai
Aku dan kerinduan di sini menanti-nanti
Kau kembali untuk indahnya saling berbagi

Jika nanti kita mengeluh
Mahligai kita jangan lah luluh
Bara asmara yang kita teguh
Akan selalu aku menyuluh

Agar tak padam
Biar tak kelam

Kotak Harapan

Secara metafora rupa harapan itu ibarat kotak yang dibungkus secara
apik dan dikemas menarik. Mengapa? Karena harapan selualu selalu
tentang pembayang-bayangan, pengandai-andaian. Ia tentang masa hadapan
yang siapa pun belum pernah menjahnya, kecuali membayangkannya,
mengandaikannya.

Tidak pernah kualami atau kudengar atau kubaca ada orang yang memiliki
harapan buruk: hidup dalam kesulitan ekonomi, sekarat di kolong
jembatan, mati, kemudian jasadnya dijadikan pakan buaya, dan ruhnya
langgeng di dalam neraka. Ceritakan kepadaku seandainya sungguh ada
yang demikian.

Siapa pun akan mengharapkan: memiliki kekasih atau istri/suami yang
setia dalam berbagai keadaan, memiliki ekonomi dan kesehatan yang
baik, lingkungan masyarakat yang bersahabat, sekarat ketika dalam
kenyamanan, mati, dan tentu menikmati syurga yang dijanjikan Tuhan di
alam baka.

Kotak harapan, selalu dibayangkan berisi kebahagiaan. Maka seperti
kewajiban untuk meraihnya. Segala daya dicurahkan untuk tetap berjalan
menuju peraihannya. Ibarat berjudi bagi penjudi, harapan selalu
dipeliharanya. Jika kalah, ia akan teringat: patah tumbuh; hilang
berganti.

Masalahnya, ketika yang patah tak mau tubuh, ada rasa enggan untuk
berganti. "Keledai yang jatuh di lubang yang sama dengan cara yang
serupa" adalah wajar karena ia seekor keledai. Tetapi istilah "bodoh"
atau "tolol" atau "dungu" terlalu bagus untuk manusia jika ia
melakukannya.

Mungkin saja isi kotak itu kebahagiaan, dan mungkin juga bukan
kebahagiaan. Mungkin isinya ular penyerang, berbisa mematikan; mungkin
sekuntum bungan yang selamanya tak akan berbuah; atau mungkin juga
sebutir bibit yang ketika ditanam dan tumbuh, ia tak akan pernah
berbunga.

Mestikkah menghabiskan bayak daya untuk tetap memikirkan kotak yang
kejelasannya tak jelas, kepastiannya tak pasti, dan tidak ada jaminan
perihal isinya. Jika berjalan menuju suatu tempat, dan kotak harapan
itu akan ditemui dalam perjalan, tidakkah tidak perlu memikirkan kotak
itu?

Lagi pula, tidak ada jaminan apa pun bahwa ketika kotak itu tepat
berada dalam jarak seraihan tangan, mungkin saja hasrat tak lagi
tertarik meraihnya. Sebab, ada kemungkinan ketika nyaris sampai di
satu titik, kita malah mengharapkan titik yang lainya lagi.

9.29.2013

Surat Untuk Idea

Aku pun tak mengerti mengapa begitu bergairah untuk menulis. Padalah
cintaku sedang enggan datang dan bermesraan. Berkali-kali aku
tinggalkan laptop untuk mencari-cari di mana Idea bersembunyi.
Hasilnya nihil. Aku kembali untuk menggelitik papan-digit tanpa
membawa apa-apa. Aku sandarkan diri, seruput kopi, hisap dalam-dalam
kretek kesukaan, dan kusambat-sambat Idea: hadilah…hadilah…hadilah…!
Dan…tring…tak datang juga. Sia-sia melakukannya.

Akhirnya aku memilih untuk menggerutu, mengeluhkan tingkah Idea yang
tampaknya mulai tak perhatian. Aku sungguh kecewa karena tingkahnya.
Bagaimana tidak kecewa, ketika birahi menulis tinggi Idea malah tak
kenan datang untuk memanjakan. Sial, kan?! Tapi, "Baiklah", gumamku
sok tangguh nan bijak, aku akan menulis surat pernyataan cinta dan
kecewa karena sikapnya, lalu kuletakan di atas meja riasnya agar ia
membacanya, lalu pergi berlalu. Maka aku mulai saja suratnya dengan
sapaan:

Untuk Idea yang Kusayang

(Aku harap dia mengerti bahwa betapa rasa kasih-sayangku dan tulus
tercurah kepadanya. Lihat saja aku memanggilnya "sayang", "Rindu",
"Kekasih", atau "Cinta". Bukankah itu semua panggilan yang menunjukkan
keakuran, kepaduan, kesaling-membutuhkan, kemesraan yang tak mudah
diurai dengan kata—meskipun memang sangat mudah tercemar oleh ulah
begundal pendusta, atau dalam istilah yang teman pakai: munafikin.)

Ideaku sayang, Kau mengetahui betapa aku selalu sayang dan kasih
kepadamu. Memang sih, sering juga aku abai hingga kau merasa jenuh,
jengkel, kemudian pergi. Tetapi, tahukah kau bahwa ketika aku
tersadar, aku mencarimu hingga merasa sangat lelah. Aku selalu rindu
kemesraan kita yang terjalin indah dan tesulam dalam setiap aksara
yang kita uraikan bersama-sama.

(dengan pembukaan demikian, semoga ia merasakan betapa kehadirannya
yang manja dan lembut-bergelora selalu aku harapkan senatiasa.)

Ideaku sayang, sungguh aku membutuhkan kehadiranmu. Aku tak tahu apa
yang akan terjadi jika kau tidak akan pernah kembali: untuk mengulang
kemesraan seperti biasanya kita bercumbu saling merayu, saling
memanjakan. Betapa indahnya hidupku karenamu. Ibarat kunang-kunang di
lembah yang gelap dan pekat, kehadiramu hangatkan setiap pandanganku
yang seidikit mengatahui.

(Tanpanya, aku sungguh tak tahu sebaiknya mulai dari mana. Maka
semampuku aku merayu-rayu, membujuk hatinya supaya berkenan kembali
dan mesra lagi, duduk bersama-sama dengan secangkir kopi hitam dan
kretek kesayangan. Setelah sebentar kuperhatikan, menulis surat
untuknya dengan isi rayuan-rayuan yang tentu tak mujarab, alangkah
baiknya jika segera kusudahi saja. Cukup satu paragraph penutup.
Selesai, segera pergi.

Ya, pergi ke mana saja yang di sana akan dengan mudah kurasakan betapa
teriknya hari musim kemarau ini, betapa rerumput kehausan dan sebagian
banyaknya sudah tewas dilalap panas. Tetapi seperti sering kukata
bahwa di mana pun dan kapan pun selalu saja ada yang cukup patut untuk
diteladani ketegguhannya yang tanggu dalam menjalani kehidupan. Kalau
mau, mari kita perhatikan di antara tanah sawah yang retak-retak
menganga, di antaranya ada rerumput dan pohon yang malah subur dan
berbunga-bunga.

Aku suka bersama mereka, berpanas-panasan. Tentu saja aku sambangi
mereka ketika hari beranjak senja. Tak terlalu panas lah! Lebih lagi
ketika cintaku, Idea, sedang merajuk dan menjauh, seperti sekarang
ini. Idea sangat manja. Aku mesti benar-benar lembut penuh
kasih-sayang memperlakukannya. Tapi sudahlah, sedang aku usahakan,
belajar dan belajar agar mampu berlaku patut. Dan, akan kuselesaikan
surat untuknya. Satu paragraph lagi.)

Ideaku sayang, jika perlakuanku keliru dan keterlaluan terhadapmu,
mohon tunjukkanlah itu dan bantu aku untuk belajar memperlakukanmu dan
apa saja secara patut dan sewajarnya. Percayalah, sayang, kau bagian
penting bagi hidupku. Sayang, datanglah dan mari kita bersama-sama
melangkah. Tanpamu aku tak tahu sebaiknya mulai dari mana. Ideaku
sayang, aku….

(Heuheu…mentok, habis sudah kata-kata untuk kalimat merayu-rayu. Jadi,
sudahi saja: cukup beri salam tanda sayang selalu .)

Merindui rindumu, Rinduku.

(Akhirnya, ngedulmelku selesai juga. Segera lipat rapih-rapih, dimpan
di atas meja dengan rapih, dan…heuheuheu….)

Tanpa Mengapa

duhai engkau
rinduku sungguh meracau
gemuruh menutut untuk segala
masa-masa ketika tanpa apa-apa

tanpa impian
tanpa harapan
tanpa kenangan
tanpa rancangan
tanpa ragam nada
tanpa ragam warna
tanpa suka dan duka

duhai engkau terkasih
rengkukanlah tanpa bersilih
dalam diam-diam dalam hela-hela
aku dan engkau saja tanpa jeda-jeda

9.28.2013

Sebelum Kembali Bangkit

Tangga kunaiki. Aku tak kesulitan melakukannya hingga sampai tujuan.
Berkali-kali aku melakukan itu, tak kesulitan dan berhasil. Betapa
mudah meraih kejayaan. Atap bocor dapat kuperbaiki dengan baik. Itu
dimulai dengan menaiki tangga dengan baik.

Betapa mudahnya menaiki tangga kehidupan dalam meraih kejayaan. Kita
cukup tapaki setiap anak-tangganya dengan baik. Mengapa dikatakan
mudah? Karena jika itu dibandingkan dengan memelihara kejayaan yang
butuh waktu seumur-hidup tentu lebih membosankan.

Ketika kita dikeadaan jaya, kita akan mengalami betapa repotnya
memelihara apa yang kita punya. Selain hama luar yang datang hendak
menggugurkan bunga yang mekar, hasrat diri yang selalu "ingin lebih
baik" seringkali mengganggu kehusyuan kita dalam bersyukur, sehingga
kita terlena oleh penasaran yang ambisius.

Bukan penasaran yang keliru, tapi terlena yang biasanya disebabkan
ambisi. Ini bisa seringkali menjadi sebab kejatuhan seseorang dalam
keadaannya yang tengah jaya. Jika sudah jatuh, akan lebih seulit
menaiki anak tangga untuk kembali jaya. Bagaimana tidak sulit, yang
namanya jatuh ya kalau tidak patah tulang setidaknya lecet-lecet.

Lebih parah jika "sudah jatuh ketiban tangga". Tapi intinya tetap
jatuh dan mengalami kekecewaan dan penderitaan. Apa yang sebaiknya
dilakaukan? Adalah mengambil jeda: sembari menyembuhkan luka, akan
bijak jika menilik ulang apa "apa yang kita lakukan hingga sampai di
keadaan ini?". Bukankah tidak keliru bahwa mengatahui sebab masalah
sama dengan menyelesaikan sebahagian masalahnya?

Sajak Tak Sejuk

ayah nasihatkan “jujurlah”
sebab jujur adalah harapan semua orang
maka aku jujur

tetapi ayah, pendusta pun kata “jangan berdusta”
sebab dusta mencederai
dan kutemui dusta-dusta

ibu nasihatkan “setialah”
sebab setia adalah harapan semua orang
maka aku setia

tetapi ibu, pengkhianat kata “jangan berkhianat”
sebab khianat melukai
dan kujumpai khianat-khianat

kalian nasihatkan “berdo’alah”
sebab do’a adalah kekuatan jiwa menangkal bala
maka aku berdo’a

tetap wahai kalian,
do’a-do’aku gemetar jiwaku lunglai
sebab kemunafikan menikam berulang-ulang

9.18.2013

9.09.2013

Tiada

tirai-tirai mana persembunyian
sembunyikan garis kehitaman
hitam titik sebidang sinaran
cahaya hangat keindahan

Cumbu Merindu

brapa lama mestinya
menunggu kau tepis sepi
hingga gemuruh dalam gumul perindu
dalam riak nafas gelora
memercik kasih pada bulir-bulir
cintamu dan aku?

9.05.2013

Sisa Mimpi

saya punya mimpi jujur
kampung saya berwarga jujur
pemerintahnya orang-orang jujur
para tetokohnya teladan yang jujur
kami saling merasa mermikir dan akur
saling memberi dan menerima secara jujur
berbagi pengertian dan pemahaman secara jujur
berbagi nasehat secara jujur
berbagi kesejahteraan secara jujur

tetapi, lagi-lagi, mimpi kepada mimpi saja yang jujur.
ia tak dapat diminta pertanggungjawaban, pun secara jujur

cuma mimpi, hanya sampai pada impian
maju sediki jadi harapan
mimpi
sisanya? onani.

9.01.2013

Inggis

I
reup ceudeum
mega bodas misemu angkeub
méré béja bakal datang
hujan

hiliwir ti'is
sigana angin ti lamping
mawa béja arék datang
hujan

II
reundeukna régang rengkakna dangdaunan
rampak ibing pangharepan
migagas bakal kahontal
hujan

III
duh, jungjunan
geuning ingkar tina sawala
angin téh muragkeun kembang
teduh nyinglar
anggang hujan

IV
kiwari, jungjunan
inggis miara impian
mulasara harepan
asa jadi bangbaluh pangemutan
bibit rujit pilampahan

kiwari, jungjunan
wayah mangsa sande kala
wayah sumerah tina sagala
mimuga balik deui ngajati
manunggal kaula Gusti

Pipit dan Seorang Tua

pipit berdecrit-decrit
terdengarnya tembang petaka
"padi rebah. kebun rebah. hutan rebah.
sungai pecah. danau pecah. laut bah luah."
ladang pangannya menyempit
hidup diapit himpit

terbanglah pipit
di atas tanah garapan
bakal jalan bebas hambatan
kemudian menghinggapi padi-padi
mereka berdecrit-decrit
terdengarnya syair khawatir
"di pinggir, ditepis diusir, menepi meminggir, ditepis diusir.
di pinggir, tak cukup mengalir."

seorang tua tak tega menghalau
pipit-pipit di padinya
yang mengering
ia memicing mata
rabun tetap membaca kala
"anakku...cucuku...engkau
bagaimana, sayang...."

30 Agustus 2013

Syawal Berduka: Kehilangan

Angin kencang. Bunga-bunga mangga dan rambutan berguguran; daun-daun
berserakan. Sarang burung Pipit jatuh berisi lima bayinya, di pekan
pertama Syawal tahun ini. Ponakan, Syukia, memeliharanya. Satu per
satu mati, dua punah semuanya dalam sepekan.

Masih dalam pekan ke dua, Mimi mati. Aku tak tahu jasad terakhirnya
seperti apa, aku sedang dalam acara khitanan Adikku. Di pekan ke tiga,
tengah malam ini, kutemukan Kuya mengambang, mati.

Karenanya, Syawal kali ini memang lain dari tahun kemarin. Kini
kusebut saja sebagai Bulan Berduka, yang kemudian kuanggap merangkum
segala kejadian yang tersifati oleh konsep 'kehilangan'.

Menyedihkan, memang. Tetapi, mungkin, saat demikianlah merupakan satu
dari banyak kesempatan untuk menikmati 'kehilangan' dengan segala
akibatnya: duka, kecewa, dan punahnya harapan.

Menikmati rasa kehilangan kuharapkan dapat menjadi bagian dari langkah
dalam memahami bahwa: hidup adalah tersendiri: sebagaimana dalam
rahim, lahir kemudian mati, dan dibangkitkan lagi dihari yang Dia
janjikan.

Tersendiri!
sendiri-sendiri,
seorang diri,
sendiri.

(Seharusnya sudah cukup kesimpulannya demikian, tanpa pertanyaan. Tapi
memang...ah...sial!)
Sialnya, aku malah jadi penasaran juga: jika aku mati manti, akankah
aku merasa kehilangan? Atau setidaknya: jika aku hilang kelak, akankah
aku merasa kehilangan?

Syawal 1434


Mimi : Musang Luak (betina, ekor putih)
Kuya : Kura-lupa Sungai (sahabat sejak lebih dari 10 tahun silam)

8.18.2013

Sebab Kita

tak mengapa bagiku
sebab kau dan aku
melukis titik-titik pedih
dengan garis-garis perih
meniru warna dedaunan
dipinggiran jalan
diemperan pertokoan
dipinggiran comberan
diranah-ranah pengasingan

tak mengapa bagiku
sebab kau dan aku
dekilmu bajuku
kumalku wajahmu
hausmu dahagaku
maka lukaku sakitmu
dukamu deritaku
ratapku nestapamu
tangismu airmataku

Kepadamu Aku Merayu

sayang, meski pujuk rinduku dipandang sayang
biarlah demikian, sayang
sebab kau dan aku seruang seluang

6.06.2013

Kepercayaan



“Pe-ng-adil-an.” Hurip mengeja-eja  kata yang baru ia dengar di tivi, berulang kali. Pikirannya melayang-layang, menerawang hingga sampai pada spandunk yang di pajang oleh Press Mahasiswa di muka kampus empat tahun silam, yang kemudian ia eja pula: “pe-m-benar-an.”

Kemudian ia menulis surel singkat yang rada panjang kepada beberapa sahabatnya.


“Kawan, Harapan telah membantu bangkitnya kepercayaan rakyat kepada para pemimpin sejak beberapa saat revolusi 1945. Hingga kini hal itu tak berubah banyak. Tetapi kita disuguhi sajian yang tak menyenangkan.

Belum 30 menit dari berita di tivi, aku langsung menulis ini. Korupsi. Tiba-tiba aku peduli dan merasa perlu mengabarkan lamunanku kepada kalian. Tentang ini masih tentang kepercayaan.

Kepada Polisi dipercayakan, korupsi masih lestari; kepada KPK dipercayakan, korupsi pun tampak menjadi; kepada siapa lagi, kawan? Aku lupa selain dari yang dua itu. Masih kurangkah kepercayaan yang rakyat berikan?!

Tak aku tampik, banyak koruptor yang berhasil dipenjarakan, diwajibkan mengembalikan uang yang mereka korup, dan denda. Tetapi yang aku tahu cuma cukup sampai dipenjarakan. Uangnya? Entah!

Harga bahan pangan pokok tetap naik, dan mustahil turun lagi; bahan bakar minyak dan gas tampak seperti dipermainkan; pendidikan yang disekolahan itu? Aku melihatnya seperti “baprik budak”.

Katanya, di jaman perjuangan, yang namanya penghianat adalah yang lari dari perang. Sekarang kita merdeka, katanya. Penghianatan direka indah. Ah, kawan, masih kurangkah kepercayaan yang rakyat persembahkan.”


Hurip diam beberapa lama. Ia tak sanggup meneruskan keluhannya. Ia baca ulang. Memang surelnya tak ada yang penting. Tetapi ia tetap mengirimkannya. Klik: terkirim..

Laptop mati. Lampu redup. Kopi. Rokok. Rebahlah hurip di sandaran kuri yang mungil. Ia mengulang eja “pe-ng-adil-an…pe-m-benar-an”.  Lirih berbisik, kemudian hening. Ia hanya mengeja dalam hati, “kurangkah kepercayaan yang dipersembahkan….”

5.25.2013

Mengurai Tirai

Seteleah Nabi-Nabi dan Rosul-Rosul Kau hadirkan di antara kami, kemudian Kau gelarkan ayat-ayat untuk sampai kepada pemahaman ayat-ayat lainnya, bukankah Engkau tak merencanakan apapun setelah kami merencanakan suatu hal atas kewenangan yang Kau berikan? Sebab jika Engkau bertingkah dengan rencana yang lebih mutakhir atas rencana yang telah kami susun, akan sia-sialah segala kewenan yang Kau anugerahkan kepada kami, dan percumalah segala ayat yang Engkau gelarkan bagi kami. Maka akan kami tunjuk diri kami sebagai penanggungjawab atas kejayaan dan kegagalan kami, sebab dengan sempurna telah engkau sempurnakan penciptaan segala yang di langit dan di bumi dan segala yang di antara keduanya.

Tuhan kami yang MahaEsa, sesungguhnya tiada daya kami selain yang Engkau anugerahkan kepada kami sejak awal hingga akhir. Kami mohon ridho-Mu agar dapat menyurupkan segala yang engkau kehendaki hingga tiada batas sujud kami kepada Tuhan Semesta Alam yang MahaEsa.

4.19.2013

A D A

Ada Arah Kau Ada
 
ke pada barat kulekati timur dibelakangku
tak ke mana
sama kala aku rekati timur itu begitu
tak beda
jangkau mu ke segala arah tuju
ada

4.17.2013

4.15.2013

TENTANG MU


tentang Mu
arti kutampung
tak sanggup kuhitung

tentang Mu
tak kufahami
lebih melimpah lagi

tentang Mu
tak tahu apa-apa
melampaui itu semua

(dzat yang maha
kasih sayang cinta
perkenankanlah aku
fahami arti segala tentang Mu)

13-04-2013

4.13.2013

AIR KEHIDUPAN

hujan itu kasih tumpah. adalah
pembasuh lembar dedaunan
impian
yang kemarau lekatkan.

hujan itu sayang ruah. adalah
pemucuk rerumputan
harapan
yang nyaris kering diinjak kedengkian.

hujan itu cinta basah. adalah
perekah kekembangan
penalaran
yang hampir sirna ditikam kenyataan.

hujan itu semesta curah. adalah
pembuah pepohonan
kehidupan
yang hampir sekarat terjerat penasaran.

hujan itu, nak, adalah
impian dan harapan
dalam
penalaran kehidupan

4.09.2013

MALAM-MALAM

Bayangkan tanpa bintang-bintang, rembulan, damar, listrik, dan lain-lain alat penerangan, malam hanya makhluk tanpa setitik pun cahaya. Jika kuacukan jempolku sejengkal dari mata, tentu tak akan tampak jempolnya, kecuali gelap. Mata benar-benar tak berguna.

Untungnya, ketika aku menyadari, entah sejak kapan, di langit malam dapat kutatap bintang, rembulan yang timbul tenggelam untuk timbul dan tenggelam ulang, dan macam-macam alat penerangan. Karena itu, baik siang atau pun malam, aku bisa leluasa melihat jempolku dan merapikan kukunya.

Bunga-bunga dan daun-daun dengan keragaman warna di masing-masih pohonnya, dan kupu-kupu yang hinggap di ujung daun kemudian pindah kepada kembang-kembang di halaman, tak dapat kusakisikan keindahannya yang sempurna ketika malam. Betapa aku kehilangan banyak warna karenanya.

Lalu, apa yang istimewa dari malam, maka aku enggan kehilanga sadarku ketika ia datang? Gelap! Ketika itulah aku mulai menyarankan kepada diriku untuk menyaksikan segala warna yang malam sembunyikan. Ketika sesuatu menjadi tak-ada, maka arti ada-nya sungguh ada.

3.24.2013

DAUN-DAUN

Semalam angin kecang bersama lebatnya hujan. Daun-daun itu berguguran, berserakan, acak-acakan, semberawut taman yang sudah ditata indah. Seorang bocah bertanya, “mengapa yang masih segar ikut jatuh, Bapak?”

Bapak tersenyum. “Lihatlah itu”, mereka mendongak. “Tidak semua pucuk akan menjadi tua. Tidak juga semua daun tua akan jatuh. Semalam hanya bagian dari cara alam menunjukkan kebijaksanaan.”

Anak mengerutkan dahi, Bapak manggut-manggut­. Tertawa bersama, entah untuk apa

TIBA-TIBA TIBA

“Kemarin sudah terkejut: tiba-tiba saja aku ada.


    titik di ujung daun
    kilau pada embun
    akan jatuh


“Kini tengah dikejutkan: apa pun tak seperti apa-apa yang dikira.


    ke bumi utuh
    pulang manunggal
    tiada sisa sepenggal


“Nanti akan ada kejutan: tiada se-apa-pun dapat diterka, akan seperti biasa, tiba-tiba saja.

3.23.2013

BEGINILAH CINTA

Kalau selesai berak, keterlaluan jika untuk membersihkan sisa tai pada liang dubur harus minta bantu tangan lain. Tentu saja tangan yang punya dubur akan membersingkan, dan bila perlu menyabuninya, kemudian menyemprotkan minyak wangi agar semerbak mempesona. Siapa tahu ada yang iseng maksa mau mengendusinya!

uWeks!!?

Kenapa kita (hampir) tak pernah membayangkan betapa bau dan menjijikkan yang disebut tai? Kenyataannya, kita rela menggerakan tang sang satu untuk mengusap atau menggosok dubur dan yang lainya menyiraminya dengan air. Atau ada yang iseng, setiap kali cebokan membayangkannya sehingga geleng-geleng kepala karena terkagum-kagum?

Heuheu...

Siapapun akan sanggup melakukan ''cebokan''. Terpaksa atau tidak, kukira tak ada yang jalan-jalan ke maal atau kekebun dengan dubur yang masih dikitari sisa tai! Itulah cinta, saudara saudari. Karena sang 'aku' mencintai dirinya 'aku'. Sesederhana itukah cinta? Hmm...kukira iya. Yang bikin ribet itu kan aksesoris pada gaun. Bukankan untuk menutupi tubuh itu cukup dengan dua kain sarung? Tapi, kan, ''tak indah....''

Ingat, kalau engkau mencintai suamimu atau istrimu, maka kalian akan rela ''menceboki'' pasanganmu. Tidak hanya mencitai kebaikan, keramaha, dan perhatiannya, tetapi juga mencintai raganya, termasuk apa-apa yang terkandung didalam raga itu, seperti tainya, keringat baunya, kentut busuknya, dan seabreg keburukannya.

Contoh paling sederhana adalah orang-tua kepada anaknya. Perhatikan siapa saja yang punya bayi, apa yang mereka lakukan kepada anaknya, kira-kira begitulah cinta. Kalau sanggup mengingat masa bayi kita, apalagi menginga bagaimana kita dalam kandungan dan dilahirkan, tentu kita akan menemukan cinta yang agung, luhur. Jika kalian temukan orang tua yang bengis, membunuh atau menyiksa bayinya, itulah sejahat-jahatnya bintang.

Sekarang aku mau belajar merayu. Heu...

jika kau haturkan segala bunga
sebagai tanda cinta
ketika kering akan kubuang saja
sayang
(jadi pupuk alamiah, boleh lah)

maka persembahkanlah seluruhmu
akan kugenggam hingga lebur kau dan aku menyatu memadu
menjadi kita tanpa yang ini yang itu
(istilah gaulnya, cinta hingga moddarr, sayang!)

cukup kau dan aku
sayang
(titik! Pokoknya t i t i k ! Sebabnya, gak tau lagi apa yang mau ditulis)

 euHeuheu...


POHON

“Sekarang kita tebang. Lihat, Nak, pekan depan ia akan kembali bertunas.”

“Kan, sudah diinjak-injak juga, Pak.”

“Meskipun kita gali bonggolnya, dan meletakkannya di atas meja, ia akan bertunas.”

“Tanpa tanah, Pak?”

“Bahkan tanpa disiram pun. Ia akan hidup hingga tetes air terakhir yang ada dalam bonggolnya. Ia akan bertunas lagi, tumbuh, hingga tujuan hidupnya tercapai, yaitu membuah.”

“Kalau keburu kering?”

“Setidaknya, pisang akan terus berusaha hidup hingga sempurna dalam berbagi apa-apa yang ada pada dirinya.”

“Hebat, ya, Pak!”

“Lebih dari hebat, Nak. Ia menghendaki seluruh potensi yang dimilikinya menjadi manfaat bagi siapa saja. Sebelum berbuah, ia akan terus berusaha bertahan hidup. Begitulah cara ia berbakti kepada Tuhannya.”

“Apa ia lebih baik dari manusia?”

“Tidak, Nak. Pisang tidak membicarakan kita sebagaimana kita merenungkannya.”

Mereka pulang. Sepanjang perjalanan tak bosan-bosan Anak bertanya tentang pisang kepada Bapaknya, sembari memanggul pisang yang cuma sepasi—hasil panen satu pohon hari ini, sisa dibagikan kepada para pemilik kebun tetangga.