9.01.2013

Syawal Berduka: Kehilangan

Angin kencang. Bunga-bunga mangga dan rambutan berguguran; daun-daun
berserakan. Sarang burung Pipit jatuh berisi lima bayinya, di pekan
pertama Syawal tahun ini. Ponakan, Syukia, memeliharanya. Satu per
satu mati, dua punah semuanya dalam sepekan.

Masih dalam pekan ke dua, Mimi mati. Aku tak tahu jasad terakhirnya
seperti apa, aku sedang dalam acara khitanan Adikku. Di pekan ke tiga,
tengah malam ini, kutemukan Kuya mengambang, mati.

Karenanya, Syawal kali ini memang lain dari tahun kemarin. Kini
kusebut saja sebagai Bulan Berduka, yang kemudian kuanggap merangkum
segala kejadian yang tersifati oleh konsep 'kehilangan'.

Menyedihkan, memang. Tetapi, mungkin, saat demikianlah merupakan satu
dari banyak kesempatan untuk menikmati 'kehilangan' dengan segala
akibatnya: duka, kecewa, dan punahnya harapan.

Menikmati rasa kehilangan kuharapkan dapat menjadi bagian dari langkah
dalam memahami bahwa: hidup adalah tersendiri: sebagaimana dalam
rahim, lahir kemudian mati, dan dibangkitkan lagi dihari yang Dia
janjikan.

Tersendiri!
sendiri-sendiri,
seorang diri,
sendiri.

(Seharusnya sudah cukup kesimpulannya demikian, tanpa pertanyaan. Tapi
memang...ah...sial!)
Sialnya, aku malah jadi penasaran juga: jika aku mati manti, akankah
aku merasa kehilangan? Atau setidaknya: jika aku hilang kelak, akankah
aku merasa kehilangan?

Syawal 1434


Mimi : Musang Luak (betina, ekor putih)
Kuya : Kura-lupa Sungai (sahabat sejak lebih dari 10 tahun silam)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar