3.17.2013

MAAF LAGI, YA!


Memang, ''sepelit-pelitnya orang adalah yang pelit mengatakan 'maaf'. Toh, kata apapun, kan, gratis!'' Pada suatu percakapan, Guru utama saya nyeleh ketika ungkapan itu dilontarkan Guru saya yang lainnya: ''maaf'', sambil memakan bala-bala yang memang tinggal sesuap, ''lebih murah dari sepasi goreang ini''.

Pengakuan, penyesalan, kehendak. Itulah konsep yang terkandung dalam 'maaf'. Menyadari tiga hal tersebut, tentu saya tidak akan sering-sering mengatakan 'maaf'. Saya akan memilih berhati-hati saja, jangan sampai saya dipaksa kenyataan untuk mengatakan itu. Apa lagi berulang katakan 'maaf' untuk hal yang serupa.

'Maaf' sebagai rayuan, gombalan, muslihat, hanya akan dikatakan oleh pakar pembual. Meskipun tetap, tak ada seorangpun yang sanggup mendustai dirinya sendiri! Jika itu saya lakukan, tentu hidup saya akan gelisah, nilai kata-kata saya akan nyaris tak berharga, bahkan kejujuran saya pun akan (patut) terabaikan.

Semakin sering saya mengatakan 'maaf', berarti saya orang yang ceroboh, teledor, lalei. Apa lagi untuk kekeliruan yang serupa, berarti saya tak tahu diri, tak tahu malu; berarti saya telah mengabaikan kesadaran saya, padahal itu bagian dari ciri kemanusiaan saya sebagai manusia!

Jika saya mengatakan ''Maaf lagi, ya!'' untuk kekeliruan serupa, berarti menggambarkan bahwa saya pun tidak mementingkan kata-kata saya sendiri. Kalau begitu, siapa yang akan menganggap penting kata-kata saya. Bukankah 'maaf' itu mengandung pengakuan, penyesalan, dan kehendak untuk tidak mengulang kekeliruan serupa?

16-03-2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar