Memang, ''sepelit-pelitnya orang adalah
yang pelit mengatakan 'maaf'. Toh, kata apapun, kan, gratis!'' Pada suatu
percakapan, Guru utama saya nyeleh ketika ungkapan itu dilontarkan Guru saya
yang lainnya: ''maaf'', sambil memakan bala-bala yang memang tinggal sesuap, ''lebih
murah dari sepasi goreang ini''.
Pengakuan, penyesalan, kehendak. Itulah
konsep yang terkandung dalam 'maaf'. Menyadari tiga hal tersebut, tentu saya
tidak akan sering-sering mengatakan 'maaf'. Saya akan memilih berhati-hati
saja, jangan sampai saya dipaksa kenyataan untuk mengatakan itu. Apa lagi
berulang katakan 'maaf' untuk hal yang serupa.
'Maaf' sebagai rayuan, gombalan, muslihat, hanya
akan dikatakan oleh pakar pembual. Meskipun tetap, tak ada seorangpun yang sanggup
mendustai dirinya sendiri! Jika itu saya lakukan, tentu hidup saya akan
gelisah, nilai kata-kata saya akan nyaris tak berharga, bahkan kejujuran saya
pun akan (patut) terabaikan.
Semakin sering saya mengatakan 'maaf',
berarti saya orang yang ceroboh, teledor, lalei. Apa lagi untuk kekeliruan yang
serupa, berarti saya tak tahu diri, tak tahu malu; berarti saya telah
mengabaikan kesadaran saya, padahal itu bagian dari ciri kemanusiaan saya
sebagai manusia!
Jika saya mengatakan ''Maaf lagi, ya!''
untuk kekeliruan serupa, berarti menggambarkan bahwa saya pun tidak
mementingkan kata-kata saya sendiri. Kalau begitu, siapa yang akan menganggap
penting kata-kata saya. Bukankah 'maaf' itu mengandung pengakuan, penyesalan,
dan kehendak untuk tidak mengulang kekeliruan serupa?
16-03-2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar