3.22.2013

BUKAN HUJAN


Jelang petang, awan gelap curahkan hujan. Pak Guru bilang, hujan adalah nikmat bagi alam semesta. Menumbuhkan, mehidupkan, meng-ada-kan: yang tiada menjadi ada.

Rumput-rumput memucuk riang, kayu busuk menumbuh jamur, sungai-sungai mengalir seraya mengaush anak ikan-ikan yang baru saja menetas.

Hujan semakin deras. Angin ciptakan gemuruh, mendapingi petir yang menggelegar. Gemercik yang seringkali dirindui, pada hujan kali ini tak terasa iramanya merdu, kecuali pilu.


Duduknya tampak santai. Bersandar dengan kepala mendongak menatap langit-langit beranda, seolah itulah cakrawala. Tetapi pancainderanya terkekang duka.

Benaknya berguman, ''yang aku butuhkan setengah liter beras. Kau dengar tangis cucuku, Tuhan. Bukan hujan, aku butuh setengah liter beras saja!'' Tubuhnya gemetar.

Seorang tua, memejam dengan harapan dapat menahan airmata yang memaksa buncah. ''Hujan, berhentilah! Aku butuh beras, setengah liter saja...ayo, lah...'', ia merengek cengeng.

Petang hilang, hari malam. Hujan tak kunjung reda. Sang tua memutuskan untuk menemui sahabatnya. Maka pergilah ia diiring rintih lapar cucu lelaki dan isak anak wanitanya.

Butuh satu jam-an, jika berjalan kaki, untuk sampai ke rumah sahabatnya. Ia berjalan dalam guyuran hujan. Entah apa yang hidup dalam benaknya selama perjalanan.

Ia merintih kepada angin, hujan, dan petir, ''...nelangsa benar hidupku...setua ini masih...duh, anaking, jimat awaking...duh....'' Ia menunduk amati jalan yang akan dilaluinya.

17-03-2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar