Jelang petang, awan gelap curahkan hujan. Pak Guru bilang, hujan adalah nikmat bagi alam semesta. Menumbuhkan, mehidupkan, meng-ada-kan: yang tiada menjadi ada.
Rumput-rumput memucuk riang, kayu busuk
menumbuh jamur, sungai-sungai mengalir seraya mengaush anak ikan-ikan yang baru
saja menetas.
Hujan semakin deras. Angin ciptakan
gemuruh, mendapingi petir yang menggelegar. Gemercik yang seringkali dirindui,
pada hujan kali ini tak terasa iramanya merdu, kecuali pilu.
Duduknya tampak santai. Bersandar dengan
kepala mendongak menatap langit-langit beranda, seolah itulah cakrawala. Tetapi
pancainderanya terkekang duka.
Benaknya berguman, ''yang aku butuhkan
setengah liter beras. Kau dengar tangis cucuku, Tuhan. Bukan hujan, aku butuh
setengah liter beras saja!'' Tubuhnya gemetar.
Seorang tua, memejam dengan harapan dapat
menahan airmata yang memaksa buncah. ''Hujan, berhentilah! Aku butuh beras,
setengah liter saja...ayo, lah...'', ia merengek cengeng.
Petang hilang, hari malam. Hujan tak kunjung
reda. Sang tua memutuskan untuk menemui sahabatnya. Maka pergilah ia diiring
rintih lapar cucu lelaki dan isak anak wanitanya.
Butuh satu jam-an, jika berjalan kaki,
untuk sampai ke rumah sahabatnya. Ia berjalan dalam guyuran hujan. Entah apa
yang hidup dalam benaknya selama perjalanan.
Ia merintih kepada angin, hujan, dan petir,
''...nelangsa benar hidupku...setua ini masih...duh, anaking, jimat
awaking...duh....'' Ia menunduk amati jalan yang akan dilaluinya.
17-03-2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar