Serupa itu bukan sama. Misalkan, saya
penjudi kartu. Suatu masa saya insyaf, dan berjanji kepada Ibu saya untuk tidak
berjudi lagi. Tetapi permainan berganti, taruhan ''bola sepak'', kemudian
insyaf lagi; pasang togel, lagai-lagi insyaf lagi.
Memang tidak judi kartu lagi, tapi tarohan
dan pasang togel atau unyeng. Jelas beda judi kartu dengan judi ''bola sepak''.
Judi kartu, ya, saya yang memainkan kartu; judi ''bila sepak'', ya, yang nongol
di TV atau diinternet yang maen, bukan saya.
Itu tak sama, tetapi serupa. Jika kita
umpamakan judi sebagai sebuah bingkai, maka togel, unyeng, tarohan, dll., itu
akan pas pada bingkai tersebut. Serupa memang bukan berarti sama. Tentu masih
banyak contoh yang dapat anda kemukakan, dan siapa tahu lebih relevan.
Ketika saya melakukan kekeliruan, kemudian
meminta maaf kepada Ibu saya; mengulang kekeliruan serupa, minta maaf lagi;
mengulang yang serupa, mengatakan maaf lagi, itu menunjukkan betapa saya tidak
menghargai diri saya sendiri. Saya membuang nilai diri saya pribadi.
Keledai masih mending (dalam pepatah
populer), toh ia masih berusaha keluar dari lubang untuk kemudian meneruskan
perjalanan dan waspada dalam melangkah (meskipun sangat mungkin akan jatuh pada
lubang yang akan dilaluinya).
Akan lebih memprihatikan ketika saya enggan
beranjak dari kubangan kekeliruan, atau beranjak dari itu karena tertarik
dengan kekeliruan lainnya, seraya berkata, “MAAF BANGET. PLIIIS...MAAFIN LAGI,
YA!''
Jika sudah demikian, cangkang kacang lebih
berharga dari 'maaf' yang seharusnya istimewa, karena isi dalam cangkan kacang enak
dimakan sambil menikmati kopi! Heuheu….
16-03-2013
maaf, boleh kirimin kacang satu karung? wahahahaaa :lol:
BalasHapushadeuuh...bukin bangkrut...yg begini ini ni keBANGETan
Hapus