1.09.2013

REDUP




Aku sedang mengeluh. Sama seperti si melarat lainnya, mungkin. Sering kudengar teman-teman mengutif omongan sang motivator, pengh­otbah: ''berdoa dan berusahalah...s­ambut harimu dengan senyuman...sema­ngat...jangan mengeluh...tema­n!'' Bodohlah bualan macam itu bagiku! Aku butuh peneduh yang jujur.

Ah, teman-temanku sok iye, memang. Mana mereka ngarti gerahnya peluh pekuli. Terlebih motivator-motiv­ator dan para penghotbah di televisi dan mimbar-mimbar, mereka lebih asyik memilah tema omongan supaya menarik dan tidak membosankan pendengar, tetap rame.

Bagiku, omongan orang di tivi aneh-aneh. Kata banyak direka, diperhalus. Padahal intinya mau ngomong 'boblok', 'brengsek', atau 'gak becus'.Perhatik­an saja omongan politikus, ekonom, sosiolog, agamawan, dsb, bikin puyeng. Padahal orang macam melarat aku ini cuma butuh makanan 4 sehat 5 sempurna, seperti ajaran waktu SD dulu. Kan, supaya sehat dan cerdas.

Askeskin? Tunjangan kesehatan bagi wong miskin? Cuma model lain dari rekayasa "pemanfaatan" kesehatan orang-orang miskin. Kita kan butuh pendidikan yang murah harganya meriah ilmunya. Wajib belajar sembilan tahun, malah bikin babak belur para orang tua. Mungkin memang Pemerintah itu tukang perintah.

Orang seperti aku, seperti terlahir dalam kutukan. Menjalani laknat kehidupan. Dibutuhkan sebagai pelengkap hiburan. Meskipun para motivator dan penghotbah menerangkan kemuliaan manusia dibanding mahkluk lainnya. Tetapi lagi, perut anjing polisi dan penjaga rumah megah lebih terawat dibanding perutku.

Hhh, diriku...cuih..­.kemilau cita-cita yang pernah kusampaikan di kelas satu SD dulu, kini redup dan terpaksa kukandangkan. Sebelum aku binasa, biarlah mimpi-mimpi menghibur sisa hidupku. Ya, impian yang tak wajib diharapkan. Terlebih orang macam aku, dapat bermimpi pun sudah beruntung.

8 Januari 2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar