Mimpi.
Mengikuti para motivator, "raihlah mimpimu". Maka pertama-tama aku
menyusun suatu impian dengan bahan pilihan yang tersedia dalam benak.
Ya. Benak itu kan perpustakaan jiwa yang didalamnya terdapat ragam
referensi (ingatan). Sebisa mungkin, secermat mungkin, seteliti
mungkin, impian disusun dan terbangunlah dengan indan. "Kelak, aka
akan…, karena itu adalah mimpiku, impianku!".
Beranjak dari beranda kamar, membuka laptop, mengaksarakan impian yang
aku susun beberapa hari. Dua halaman A4 hampir penuh. Sedari awal, aku
sudah sungguh sumringah. Betapa hebatnya aku: tidak hanya menentukan
bagaimana keadaanku seharusnya nanti, tetapi juga telah memilih-milih
jalannya agar sampai padanya dengan selamat.
Kira-kira, cuma perlu dua halaman A4 lagi untuk menyelesaikan
garis-gari pokok sebagai pedoman guna meraih mimpi yang aku susun
berhari-hari. Tapi sial, kopi di cangir sudah habis. Terpaka buat
lagi, sendir. Lebih sialnya lagi, selama membuat kopi, lamunan malah
bermain layang-layang, sembangi masa demi masa, kenangan terkenang.
Karenanya aku memilih mebuka file-file lama.
adakah seorang insan yang mengerti..
apakah arti kehidupan ini…
pernah kucari arti cinta sejati
namun yang kutemui hanyalah mimpi..
suatu mimpi kosong yang tak bertepi
apakah salah hati ini
ingin memiliki sebuah cinta sejati..
apakah arti sebuah persahabatan sejati
apakah itu juga sebuah mimpi..?
jika benar,
apalah arti semua ini.. (1
Puisi itu ditulis Wardhana tahun 2008. Entah apa maksud yang ingin
ditegaskan oleh puisi itu, tapi "yang kutemi hanyalah mimpi"
memunculkan pertanyaan: mengapa tidak ditanyakan "apakah arti sebuah
mimpi sejati". Beberapa saat lamun-melamun, kemudian balik membacai
barisan kalimat perihal impian yang baru setengah kuaksarakan.
Penasaran perihal mimpi dan impian, klik search untuk semua file dalam
disk C, D, E. Beberapa file muncul dengan nama yang mengandung kata
mimpi. Munucl beberapa tulisan yang kuambil dari blog dan tulisan
teman perihal mimpi dan impian. Tapi cuma satu puisi yang berjudu
Mimpi, tanpa kata lain sebelum dan sesudahnya, ditulis Arina ditahun
yang sama.
mimpi
adakalanya suka duka
penat letih
mimpi
melayang jiwaku
enak bersama mainan yang terus beraksi
hinggalah ku terjaga dari lena yang enak (2
Sialnya, "apakah arti sebuah mimpi sejati" malah kujawab "hinggalah
kuterjaga dari lena yang enak". Impian yang kususun, ternyata tak
lebih sejati dari "mainan yang terus beraksi" selama tertidur. Karena
impian hanya kata sifat dari mimpi yang teralami ketika tidur. Diluar
keadaan tidur, mimpi tak pernah terjadi. Maka, sekejap berada dalam
keterjagaan impianpun buyar. Hapus, dan menggantinya dengan ini.
Ada lagi sialnya, "apakah itu juga sebuah mimpi..?", dalam puisi
Wardhana, memantik keisengan merekayasa kalimat, menjadi "apakah ini
juga sebuah mimpi?" Jangan-jangan aku ini sedang dalam keadaan
tertidur, tidur yang lebih lama daripada yang biasanya kita sebut
tidur. Dari kesemerawutan tulisanku yang ini, bodohnya, aku malah
mengakhirnya dengan kalimat: mimpi, ini adalah kenyataan lain dari
kenyataan ini.
Puisi
1. Arti Kehidupan, Joe Wardhana, 12 Juli 2008, Bandung
2. Mimpi, Norsaparina, 11 Agustus 2008, Kuala Lumpur
28 Oktober 2013