3.24.2013

DAUN-DAUN

Semalam angin kecang bersama lebatnya hujan. Daun-daun itu berguguran, berserakan, acak-acakan, semberawut taman yang sudah ditata indah. Seorang bocah bertanya, “mengapa yang masih segar ikut jatuh, Bapak?”

Bapak tersenyum. “Lihatlah itu”, mereka mendongak. “Tidak semua pucuk akan menjadi tua. Tidak juga semua daun tua akan jatuh. Semalam hanya bagian dari cara alam menunjukkan kebijaksanaan.”

Anak mengerutkan dahi, Bapak manggut-manggut­. Tertawa bersama, entah untuk apa

TIBA-TIBA TIBA

“Kemarin sudah terkejut: tiba-tiba saja aku ada.


    titik di ujung daun
    kilau pada embun
    akan jatuh


“Kini tengah dikejutkan: apa pun tak seperti apa-apa yang dikira.


    ke bumi utuh
    pulang manunggal
    tiada sisa sepenggal


“Nanti akan ada kejutan: tiada se-apa-pun dapat diterka, akan seperti biasa, tiba-tiba saja.

3.23.2013

BEGINILAH CINTA

Kalau selesai berak, keterlaluan jika untuk membersihkan sisa tai pada liang dubur harus minta bantu tangan lain. Tentu saja tangan yang punya dubur akan membersingkan, dan bila perlu menyabuninya, kemudian menyemprotkan minyak wangi agar semerbak mempesona. Siapa tahu ada yang iseng maksa mau mengendusinya!

uWeks!!?

Kenapa kita (hampir) tak pernah membayangkan betapa bau dan menjijikkan yang disebut tai? Kenyataannya, kita rela menggerakan tang sang satu untuk mengusap atau menggosok dubur dan yang lainya menyiraminya dengan air. Atau ada yang iseng, setiap kali cebokan membayangkannya sehingga geleng-geleng kepala karena terkagum-kagum?

Heuheu...

Siapapun akan sanggup melakukan ''cebokan''. Terpaksa atau tidak, kukira tak ada yang jalan-jalan ke maal atau kekebun dengan dubur yang masih dikitari sisa tai! Itulah cinta, saudara saudari. Karena sang 'aku' mencintai dirinya 'aku'. Sesederhana itukah cinta? Hmm...kukira iya. Yang bikin ribet itu kan aksesoris pada gaun. Bukankan untuk menutupi tubuh itu cukup dengan dua kain sarung? Tapi, kan, ''tak indah....''

Ingat, kalau engkau mencintai suamimu atau istrimu, maka kalian akan rela ''menceboki'' pasanganmu. Tidak hanya mencitai kebaikan, keramaha, dan perhatiannya, tetapi juga mencintai raganya, termasuk apa-apa yang terkandung didalam raga itu, seperti tainya, keringat baunya, kentut busuknya, dan seabreg keburukannya.

Contoh paling sederhana adalah orang-tua kepada anaknya. Perhatikan siapa saja yang punya bayi, apa yang mereka lakukan kepada anaknya, kira-kira begitulah cinta. Kalau sanggup mengingat masa bayi kita, apalagi menginga bagaimana kita dalam kandungan dan dilahirkan, tentu kita akan menemukan cinta yang agung, luhur. Jika kalian temukan orang tua yang bengis, membunuh atau menyiksa bayinya, itulah sejahat-jahatnya bintang.

Sekarang aku mau belajar merayu. Heu...

jika kau haturkan segala bunga
sebagai tanda cinta
ketika kering akan kubuang saja
sayang
(jadi pupuk alamiah, boleh lah)

maka persembahkanlah seluruhmu
akan kugenggam hingga lebur kau dan aku menyatu memadu
menjadi kita tanpa yang ini yang itu
(istilah gaulnya, cinta hingga moddarr, sayang!)

cukup kau dan aku
sayang
(titik! Pokoknya t i t i k ! Sebabnya, gak tau lagi apa yang mau ditulis)

 euHeuheu...


POHON

“Sekarang kita tebang. Lihat, Nak, pekan depan ia akan kembali bertunas.”

“Kan, sudah diinjak-injak juga, Pak.”

“Meskipun kita gali bonggolnya, dan meletakkannya di atas meja, ia akan bertunas.”

“Tanpa tanah, Pak?”

“Bahkan tanpa disiram pun. Ia akan hidup hingga tetes air terakhir yang ada dalam bonggolnya. Ia akan bertunas lagi, tumbuh, hingga tujuan hidupnya tercapai, yaitu membuah.”

“Kalau keburu kering?”

“Setidaknya, pisang akan terus berusaha hidup hingga sempurna dalam berbagi apa-apa yang ada pada dirinya.”

“Hebat, ya, Pak!”

“Lebih dari hebat, Nak. Ia menghendaki seluruh potensi yang dimilikinya menjadi manfaat bagi siapa saja. Sebelum berbuah, ia akan terus berusaha bertahan hidup. Begitulah cara ia berbakti kepada Tuhannya.”

“Apa ia lebih baik dari manusia?”

“Tidak, Nak. Pisang tidak membicarakan kita sebagaimana kita merenungkannya.”

Mereka pulang. Sepanjang perjalanan tak bosan-bosan Anak bertanya tentang pisang kepada Bapaknya, sembari memanggul pisang yang cuma sepasi—hasil panen satu pohon hari ini, sisa dibagikan kepada para pemilik kebun tetangga.

3.22.2013

BUKAN HUJAN


Jelang petang, awan gelap curahkan hujan. Pak Guru bilang, hujan adalah nikmat bagi alam semesta. Menumbuhkan, mehidupkan, meng-ada-kan: yang tiada menjadi ada.

Rumput-rumput memucuk riang, kayu busuk menumbuh jamur, sungai-sungai mengalir seraya mengaush anak ikan-ikan yang baru saja menetas.

Hujan semakin deras. Angin ciptakan gemuruh, mendapingi petir yang menggelegar. Gemercik yang seringkali dirindui, pada hujan kali ini tak terasa iramanya merdu, kecuali pilu.


Duduknya tampak santai. Bersandar dengan kepala mendongak menatap langit-langit beranda, seolah itulah cakrawala. Tetapi pancainderanya terkekang duka.

Benaknya berguman, ''yang aku butuhkan setengah liter beras. Kau dengar tangis cucuku, Tuhan. Bukan hujan, aku butuh setengah liter beras saja!'' Tubuhnya gemetar.

Seorang tua, memejam dengan harapan dapat menahan airmata yang memaksa buncah. ''Hujan, berhentilah! Aku butuh beras, setengah liter saja...ayo, lah...'', ia merengek cengeng.

Petang hilang, hari malam. Hujan tak kunjung reda. Sang tua memutuskan untuk menemui sahabatnya. Maka pergilah ia diiring rintih lapar cucu lelaki dan isak anak wanitanya.

Butuh satu jam-an, jika berjalan kaki, untuk sampai ke rumah sahabatnya. Ia berjalan dalam guyuran hujan. Entah apa yang hidup dalam benaknya selama perjalanan.

Ia merintih kepada angin, hujan, dan petir, ''...nelangsa benar hidupku...setua ini masih...duh, anaking, jimat awaking...duh....'' Ia menunduk amati jalan yang akan dilaluinya.

17-03-2013

3.17.2013

MAAF BANGET. PLIIIS...MAAFIN, YA!

Serupa itu bukan sama. Misalkan, saya penjudi kartu. Suatu masa saya insyaf, dan berjanji kepada Ibu saya untuk tidak berjudi lagi. Tetapi permainan berganti, taruhan ''bola sepak'', kemudian insyaf lagi; pasang togel, lagai-lagi insyaf lagi.

Memang tidak judi kartu lagi, tapi tarohan dan pasang togel atau unyeng. Jelas beda judi kartu dengan judi ''bola sepak''. Judi kartu, ya, saya yang memainkan kartu; judi ''bila sepak'', ya, yang nongol di TV atau diinternet yang maen, bukan saya.

Itu tak sama, tetapi serupa. Jika kita umpamakan judi sebagai sebuah bingkai, maka togel, unyeng, tarohan, dll., itu akan pas pada bingkai tersebut. Serupa memang bukan berarti sama. Tentu masih banyak contoh yang dapat anda kemukakan, dan siapa tahu lebih relevan.

Ketika saya melakukan kekeliruan, kemudian meminta maaf kepada Ibu saya; mengulang kekeliruan serupa, minta maaf lagi; mengulang yang serupa, mengatakan maaf lagi, itu menunjukkan betapa saya tidak menghargai diri saya sendiri. Saya membuang nilai diri saya pribadi.

Keledai masih mending (dalam pepatah populer), toh ia masih berusaha keluar dari lubang untuk kemudian meneruskan perjalanan dan waspada dalam melangkah (meskipun sangat mungkin akan jatuh pada lubang yang akan dilaluinya).

Akan lebih memprihatikan ketika saya enggan beranjak dari kubangan kekeliruan, atau beranjak dari itu karena tertarik dengan kekeliruan lainnya, seraya berkata, “MAAF BANGET. PLIIIS...MAAFIN LAGI, YA!''

Jika sudah demikian, cangkang kacang lebih berharga dari 'maaf' yang seharusnya istimewa, karena isi dalam cangkan kacang enak dimakan sambil menikmati kopi! Heuheu….

16-03-2013

MAAF LAGI, YA!


Memang, ''sepelit-pelitnya orang adalah yang pelit mengatakan 'maaf'. Toh, kata apapun, kan, gratis!'' Pada suatu percakapan, Guru utama saya nyeleh ketika ungkapan itu dilontarkan Guru saya yang lainnya: ''maaf'', sambil memakan bala-bala yang memang tinggal sesuap, ''lebih murah dari sepasi goreang ini''.

Pengakuan, penyesalan, kehendak. Itulah konsep yang terkandung dalam 'maaf'. Menyadari tiga hal tersebut, tentu saya tidak akan sering-sering mengatakan 'maaf'. Saya akan memilih berhati-hati saja, jangan sampai saya dipaksa kenyataan untuk mengatakan itu. Apa lagi berulang katakan 'maaf' untuk hal yang serupa.

'Maaf' sebagai rayuan, gombalan, muslihat, hanya akan dikatakan oleh pakar pembual. Meskipun tetap, tak ada seorangpun yang sanggup mendustai dirinya sendiri! Jika itu saya lakukan, tentu hidup saya akan gelisah, nilai kata-kata saya akan nyaris tak berharga, bahkan kejujuran saya pun akan (patut) terabaikan.

Semakin sering saya mengatakan 'maaf', berarti saya orang yang ceroboh, teledor, lalei. Apa lagi untuk kekeliruan yang serupa, berarti saya tak tahu diri, tak tahu malu; berarti saya telah mengabaikan kesadaran saya, padahal itu bagian dari ciri kemanusiaan saya sebagai manusia!

Jika saya mengatakan ''Maaf lagi, ya!'' untuk kekeliruan serupa, berarti menggambarkan bahwa saya pun tidak mementingkan kata-kata saya sendiri. Kalau begitu, siapa yang akan menganggap penting kata-kata saya. Bukankah 'maaf' itu mengandung pengakuan, penyesalan, dan kehendak untuk tidak mengulang kekeliruan serupa?

16-03-2013